Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Privasi adalah Persoalan Kedaulatan

Privasi adalah Persoalan Kedaulatan

Oleh: rahadian p. paramita -- 10 Januari, 2017 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Privasi adalah Persoalan Kedaulatan

Privasi adalah persoalan kedaulatan

Privasi dan penegakan kedaulatan

Tanpa kebebasan, tak ada kedaulatan. Tanpa kebebasan, setiap orang tak memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Bahkan untuk berpikir dan menyatakan apa yang dipikirkannya. Maka, mustahil mencapai kedaulatan atas dirinya sendiri.

Sampai di sini, seharusnya cukup jelas bahwa privasi bukan sekadar tentang nomor rekening bank, atau kode kartu kredit untuk belanja daring. Bukan pula sekadar riwayat kesehatan, akta otentik yang bersifat pribadi, kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang. Pun hal-hal yang divonis sebagai rahasia pribadi.

Mengutip lagi Snowden, isu privasi bukan sekadar ihwal surveilans atau pengawasan melekat yang dilakukan negara maupun lembaga privat. Pelanggaran privasi bukan cuma soal satu pihak yang berusaha mengintip atau menyebarkan data pribadi orang lain secara ilegal.

Privasi menjamin seseorang untuk bebas berpikir, menyatakan pikirannya, dan menentukan apa yang terbaik untuk dirinya. Tentu saja, tanpa melanggar norma dan aturan hukum positif yang berlaku. Setiap pelanggaran, akan membawa konsekuensi tersendiri.

Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, tak bermanfaat tanpa kehadiran privasi. Bagaimana mungkin bisa berekspresi, bila apa yang boleh diekspresikan ditentukan oleh negara. Baik melalui larangan terbuka, maupun secara diam-diam—kondisi yang lazim semasa Orde Baru.

Semisal dalam urusan beragama. Konstitusi Republik ini telah menjamin kemerdekaan setiap individu untuk memeluk agamanya. Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia bisa dilihat pada Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, UUD versi amandemen.

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Pada ayat selanjutnya, Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, juga dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Lalu Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, mengakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.

Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, pun menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Kedaulatan individu untuk memeluk agama, tak bisa diintervensi oleh negara. Tak ada satu entitaspun yang boleh memaksakan suatu agama atau kepercayaan, kepada seseorang. Mempraktikkan hal itu, sama dengan melanggar konstitusi. Meski, hak itu bukan tanpa batasan.

Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Ayat selanjutnya menyebutkan bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang.

Hak atas privasi harus dilindungi

Bila kembali ditarik ke urusan negara, privasi juga bisa dilihat sebagai modal menegakkan kedaulatan. Negara berdaulat, tentu tak mudah didikte oleh kepentingan pihak manapun dari luar negara. Negara berdaulat, tentu punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

Inilah kenapa privasi berkelindan dengan kedaulatan. Kedaulatan, di tingkat individu berarti punya kendali atas dirinya sendiri; atas hal-hal yang berdampak hanya pada dirinya sendiri. Di tingkat negara, berarti mempunyai kekuasaan tertinggi.

Namun sebuah negara tidak bisa seenaknya sendiri, mengabaikan negara-negara lain di sekitarnya. Hubungan antarnegara, suka atau tidak suka, pada akhirnya harus dilandasi saling menghormati kedaulatan masing-masing. Intervensi suatu negara ke negara lain, bisa memicu sengketa.

Kondisi ini yang membuat aksi Snowden mencuri lebih dari 1,7 juta berkas intelijen—dan membocorkannya kepada media—menjadi penting. Isu privasi, bukan sekadar persoalan individu. Isu privasi, juga melintasi batas-batas kedaulatan negara.

Snowden tak hanya memeringatkan warga bahwa pemerintah telah memata-matai warganya sendiri secara berlebihan. Bocoran Snowden juga membuktikan, negara adikuasa bersama kroninya bersekongkol memata-matai negara lain, termasuk Indonesia.

Dokumen itu menyatakan, agen rahasia Australia dan Amerika Serikat bekerja sama menyadap komunikasi pejabat Indonesia dengan firma hukum di AS seputar sengketa dagang Indonesia-AS.

“Bagaimana sengketa perdagangan Indonesia dan Amerika soal udang bisa berdampak langsung atau tidak langsung bagi keamanan Australia? Mereka bisa (melakukan itu) tetapi bukan berarti mereka harus (menyadap),” tanggapan Menteri Luar Negeri RI saat itu, Marty Natalegawa.

“Kita harus saling mendengar, bukan menguping. Tapi ini yang kita lihat: negara tetangga akrab kita memilih untuk menguping,” sindirnya, seperti dikutip BBC Indonesia, Senin (17/2/2014).

Snowden benar, isu privasi tak sedangkal menyembunyikan data pribadi. Isu privasi dan pengawasan tak berhenti pada berita diretasnya akun-akun di panggung (platform) media sosial. Seriusnya pelanggaran terhadap privasi, membuatnya rela menjadi buronan nomor satu pemerintah AS.

Bila setuju bahwa privasi adalah sebuah wujud kebebasan dan kedaulatan, maka ia memang bukan hal yang perlu disembunyikan. Yang perlu disembunyikan atau dirahasiakan adalah data pribadi. Itupun bisa jadi pilihan pemilik data, atau bagaimana aturan dan perundangan mengaturnya.

Hak atas privasi adalah hak yang harus dilindungi, bahkan dipertahankan. Tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk sesama umat manusia di muka bumi.

*Dimuat ulang dari sini dengan sejumlah perubahan.

Lanjut membaca: Halaman 1 » Halaman 2 » Halaman 3

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.