C. Viralitas
Hasrat ingin viral, membuat disinformasi menyebar cepat di ekosistem yang baru. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, misalnya kebangkitan khalayak, era digital telah meniadakan hambatan untuk mempublikasi1Gillmor, D. (2004). We, the Media: Grassroots Journalism By the People, For the People (O’Reilly) (diakses 29/03/2018)..
Terjadi pergeseran alat produksi ke orang-orang yang dulunya dikenal sebagai khalayak2Rosen, J. (2006). The People Formerly Known as the Audience, PressThink blog (27 Juni 2006) (diakses 29/03/2018)., kini bisa menjadi produsen—fungsi dan praktik yang disebut “produsage”3Bruns, A. (2008). Blogs, Wikipedia, Second Life, and Beyond: From Production to Produsage. Peter Lang, New York. Lihat juga: Bruns A (2006) Collaborative Online News Production. Peter Lang, New York.. Awalnya membangun khalayak melalui surel dan chat-room, kini media sosial secara dramatis memperluas jangkauan mereka.
Faktor lainnya, kehadiran media sosial. Di banyak negara, pada akhir 2000-an, Twitter dan Facebook serta YouTube menjadi media sosial andalan, memengaruhi praktik dan identitas profesional jurnalis (terutama terkait verifikasi, keterlibatan khalayak, dan tabrakan ruang pribadi dengan publik yang terjadi pada media sosial4Posetti, J. (2009). Transforming Journalism…140 Characters at a Time Rhodes Journalism Review, 29 September 2009. (diakses 29/03/2018).), serta distribusi konten.
Ketika individu membentuk jejaring berdasarkan kepercayaan, distribusi konten antar-pengguna (khususnya di Facebook) mulai menantang metode tradisional penyebaran konten. Pengguna memilih aliran konten mereka sendiri— termasuk konten dari layanan berita, jurnalis, dan penyedia informasi terpercaya lainnya—tanpa mediasi.
Problematika dari aspek viralitas yang berlebihan ini antara lain:
- Meningkatnya kemungkinan disinformasi dan misinformasi menjadi viral dengan distribusi yang diperkuat oleh “jejaring kepercayaan”5“Jejaring kepercayaan” (trust networks) adalah jejaring orang-orang yang berbagi informasi daring melalui hubungan yang didasarkan pada kepercayaan (misalnya, kelompok keluarga dan teman). Penelitian telah berulang kali menunjukkan bahwa pengguna media sosial lebih mungkin membagikan informasi yang berasal dari “jejaring kepercayaan” terlepas apakah informasinya akurat atau terverifikasi. dan reaksi emosional (misalnya dipicu oleh bias konfirmasi). (Lihat Modul 5);
- Kemampuan pemerintah dan lembaga-lembaga lain untuk mengesampingkan interogasi dan verifikasi media berita dengan memilih pendekatan langsung ke khalayak untuk menghindari pengawasan. Ada bukti peningkatan manipulasi kekuatan media sosial oleh mereka yang berusaha untuk mempengaruhi hasil pemilu dan kebijakan publik6Freedom House (2017). Freedom of the Net 2017: Manipulating Social Media to Undermine Democracy Freedom House. (diakses 29/03/2018). Lihat juga Cadwalladr, C. (2018). I made Steve Bannon’s Psychological Warfare Tool: Meet the data war whistleblower, The Guardian/Observer (diakses 31/03/2018).;
- Informasi sensasional lebih mungkin untuk dibagikan7Kalsnes, B. & Larsson, O. A. (2017). Understanding News Sharing Across Social Media: Detailing distribution on Facebook and Twitter dalam Journalism Studies (Taylor and Francis) Maret 2017. (diakses 29/03/2018).;
- Ketidakmampuan untuk dengan mudah menarik kembali atau memperbaiki disinformasi dan misinformasi setelah itu menjadi viral—tidak ada sanggahan atau liputan yang mengekspos kepalsuan yang sepenuhnya menghilangkan dampak cerita rekaan, meme jahat, video propaganda yang disamarkan sebagai berita, atau laporan keliru yang disebabkan oleh kegagalan verifikasi;
- Tuntutan untuk menerbitkan secara instan di media sosial dapat menyebabkan penyebaran disinformasi dan misinformasi atau materi dari sumber palsu secara tidak sengaja8Posetti, J. (2009). Rules of Engagement For Journalists on Twitter, PBS Mediashift, 19 Juni 2009. (diakses 29/03/2018).;
- Tingkat literasi media dan informasi serta kecakapan verifikasi yang rendah di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa dalam banyak kasus, pengguna media sosial secara umum tidak cakap untuk menentukan apakah sebuah konten itu otentik sebelum membagikannya;
- Risiko negara melemahkan kebebasan berekspresi melalui penyensoran dan pemblokiran yang tidak berdasar sebagai respons terhadap masalah-masalah mendesak yang diuraikan di atas;
- Pertumbuhan gelembung filter yang secara teoretis mengonfirmasi bias dan mengurangi paparan terhadap informasi yang berkualitas dan terverifikasi;
- Risiko berupa praktik jurnalisme berkualitas rendah yang semakin menurunkan penghargaan khalayak terhadap profesi jurnalis dan memberikan legitimasi bagi serangan terhadap media berita oleh mereka yang berupaya membungkam kritik;
- Risiko berupa kebingungan khalayak tentang apa yang merupakan berita, yang berbeda dari disinformasi yang disamarkan sebagai berita9Nielsen, R. K. & Graves, L. (2017). “News you don’t believe”: Audience Perspectives on Fake News, Reuters Institute for the Study of Journalism Factsheet (RISJ, Oxford). (diakses 29/03/2018).;
- Ketidaksiapan ruang redaksi menghadapi disinformasi dan perlunya tim editor media sosial untuk mengembangkan strategi baru supaya bisa lebih baik memerangi masalah di atas10Elizabeth, J. (2017) After a Decade, It’s Time to Reinvent Social Media in Newsrooms, American Press Institute. (diakses 29/03/2018)..
D. Kejayaan media sosial
Pemimpin Redaksi Guardian Katherine Viner menyatakan, “Facebook telah menjadi penerbit terkaya dan paling kuat dalam sejarah dengan mengganti editor dengan algoritma.”11Viner, K. (2017). A mission for journalism in a time of crisis, The Guardian, 17 November 2017. (diakses 29/03/2018). Media sosial ini telah dielu-elukan sebagai “penjaga gerbang baru”12Bell, E. & Owen, T. (2017). The Platform Press: How Silicon Valley Reengineered Journalism, Tow Center for Digital Journalism. (diakses 29/03/2018)., meskipun mereka masih enggan menerima tanggung jawab pengawasan yang diemban penerbit tradisional—termasuk verifikasi dan kurasi—meskipun mengambil keputusan untuk menyensor beberapa konten dengan cara yang melemahkan kebebasan media13Hindustan Times (2016). Facebook Says Will Learn From Mistake Over Vietnam Photo. (diakses 29/03/2018)..
Upaya Facebook untuk mengatasi disinformasi dan misinformasi berkembang dengan cepat, tetapi penolakannya untuk a) merespons secara memadai, dalam skala global, dan b) mengambil tanggung jawab ala penerbit terkait dampaknya secara sosial dan demokrasi berisiko menjadikan Facebook sebagai pabrik untuk “kekacauan informasi” dan pelecehan daring14Posetti, J. (2017). Fighting Back Against Prolific Online Harassment, The Conversation, June 29th 2017. (diakses 29/03/2018)..
Fungsi algoritma Facebook dalam penyebaran berita dan penyebaran disinformasi, khususnya di negara-negara berkembang, telah mendapat sorotan sejak 201615Finkel, Casey & Mazur (2018). op cit, terutama dalam konteks propaganda terkomputasi, yang memengaruhi berbagai platform media sosial yang terbuka16Grimme, C., Preuss, M., Adam, L., & Trautmann, H. (2017). Social Bots: Human-Like by Means of Human Control?. Big Data 5(4) (diakses 29/03/2018)..
Namun, setelah komitmen dan kemitraan dengan organisasi berita dan akademisi jurnalisme untuk mengatasi krisis itu—termasuk memunculkan konten yang dapat dipercaya dan menandai unggahan yang salah dan menyesatkan—Facebook mundur secara dramatis dari fungsi ini pada Januari 201817Wang, S., Schmidt, C. & Hazard, O. L . (2018). Publishers claim they’re taking Facebook’s newsfeed changes in their stride – is the bloodletting still to come? NiemanLab. (diakses 29/03/2018)..
Pergeseran dari sistem media sosial yang terbuka terkait keterlibatan khalayak ke sistem yang lebih tertutup kemungkinan akan terjadi, dengan serangkaian implikasi baru bagi penyebaran berita dan keberlanjutan jurnalisme berkualitas. Ada juga risiko tambahan berupa penciptaan gelembung filter dan penyebaran disinformasi secara viral18Alaphillippe, A. (2018). Facebook’s Newsfeed Changes Are Probably Going to be Great for Fake News, The Next Web. (diakses 29/03/2018)..
Itu juga mencakup masalah dengan algoritma mesin pencari seperti Google, seperti mereka akui pada awal 2018, yang memiliki kecenderungan untuk memperkuat bias. Pada saat penulisan buku ini, Google telah mengindikasikan bahwa mereka sedang berupaya mengatasi masalah tersebut:
“Sering ada beragam perspektif sah yang ditawarkan oleh penerbit, dan kami ingin memberi pengguna visibilitas dan akses ke beragam perspektif tersebut dari berbagai sumber.”19Hao, K. (2018). Google is finally admitting it has a filter bubble problem, Quartz. (diakses 29/03/2018).