Melek Media dan Informasi
Disinformasi menyaru berita seperti kasus pemilu di AS, Prancis, Kenya, dan Jerman pada 2016 dan 2017 hanyalah puncak gunung es dari banyak sekali tantangan informasi. Bayangkan saat stasiun televisi dan pengguna media sosial di seluruh dunia melacak secara real time upaya “ajaib” penyelamat membebaskan seorang siswi, #FridaSofía, dari reruntuhan usai gempa bumi di Meksiko 2017—kasus yang belakangan diketahui fiktif belaka1Campoy, A. (2017). A schoolgirl trapped in Mexico’s earthquake rubble won the world’s hearts – except she did not exist. Quartz. (diakses 03/04/2018)..
Cerita-cerita barusan adalah palsu, meski mungkin tidak disengaja. Jurnalisme harus menghindari pemalsuan dan kesalahan seperti dua kisah di atas. Kendati tidak semua kepalsuan dalam berita adalah “berita palsu” dalam konteks disinformasi, keduanya jadi hambatan bagi masyarakat dalam memahami apa yang benar-benar terjadi.
Melek Media dan Informasi (MIL) jadi sarana untuk mendeteksi “kekacauan informasi” dalam pesan yang jelas maupun tersembunyi. Kecakapan MIL mencakup literasi hak asasi manusia (khususnya hak kebebasan berekspresi sebagai hak setiap orang untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan pendapat); literasi berita (termasuk literasi tentang standar dan etika jurnalistik); literasi iklan; literasi komputer; pemahaman tentang “ekonomi perhatian2Attention economics: sebuah pendekatan manajemen informasi yang memperlakukan perhatian manusia sebagai komoditas langka dan menerapkan teori ekonomi untuk memecahkan berbagai masalah manajemen informasi— penerj.”; literasi antar-budaya; literasi privasi; dan sebagainya.
MIL juga berupaya memahami cara komunikasi berinteraksi dengan identitas individu dan perkembangan sosial. Karenanya, kemampuan ini menjadi kecakapan hidup yang penting—untuk mengetahui apa saja yang membentuk identitas seseorang dan cara seseorang dapat mengarungi kabut informasi, serta menghindari ranjau tersembunyi di dalamnya. MIL menentukan cara konsumsi, produksi, penemuan, evaluasi dan berbagi informasi, serta pemahaman tentang diri sendiri dan orang lain dalam masyarakat.
Adapun literasi berita adalah kemampuan yang lebih spesifik untuk memahami bahasa dan konvensi- konvensi berita sebagai suatu genre, dan untuk mengenali bagaimana fitur-fitur ini dapat dieksploitasi oleh aktor-aktor jahat. Meskipun, literasi berita sulit menghasilkan ketahanan penuh terhadap disinformasi. Ini karena manusia berkomunikasi tidak hanya dengan akal, tetapi juga dengan hati mereka. MIL pun perlu meningkatkan kesadaran tentang cara merespons berita, dan kritis sebelum memercayai sebuah informasi.
Pengguna berita membutuhkan literasi media dan informasi secara umum, tapi juga pemahaman filosofis. Misalnya, memahami bahwa berita otentik bukan sepenuhnya “kebenaran”. Berita paling akurat sekalipun merupakan hasil interaksi manusia dengan sesamanya dan dengan realitas dari waktu ke waktu.
Khalayak harus memahami bahwa jurnalisme tidak boleh mengabadikan yang salah. Penampakan paus dan hiu di kolam atau halaman belakang orang-orang setelah badai, terdengar mustahil sebagai dampak bencana alam. Saat diliput oleh media, muncul pertanyaan: Benarkah demikian?
Berita yang tidak menghormati fakta yang diverifikasi bisa jadi hasil peliputan yang ceroboh dan melalui proses penerbitan yang tidak memadai. Tetapi, bisa juga itu disengaja untuk menipu. MIL dibutuhkan untuk menguraikan perbedaannya, dan bagaimana kasus-kasus “berita palsu” seperti itu berbeda dari berita yang profesional dan etis.
Publik perlu berpikir kritis tentang apa yang mereka dengar dan lihat, dari percakapan paling sederhana hingga berita yang paling banyak disebarluaskan lewat media tradisional dan digital. Apalagi, kehadiran media sosial turut menambah masalah.
Belakangan terjadi peningkatan ujaran kebencian, xenofobia, dan serangan terhadap para pengungsi atau orang-orang dari agama, etnis, dan warna kulit berbeda berdasarkan stereotip. Hal ini bisa dipicu statistik rekaan, retorika populis, dan/atau laporan media yang tidak memenuhi standar jurnalisme.
Ini akan menjadi makin rumit seiring adanya program komputer dengan kecerdasan buatan (AI) untuk membuat simulasi orang-orang di dalam video dan/atau audio palsu3Edmund, C. (2017). This AI can create a video of Barack Obama saying anything. (daring) World Economic Forum. .
Selain jenis-jenis disinformasi dan misinformasi yang diidentifikasi oleh Wardle dan Derakhshan (2017)4Lihat Modul-02, organisasi nirlaba European Association for Viewers’ Interests (EAVI) yang berbasis di Brussels, dalam konteks program Literasi Media untuk Kewarganegaraan yang mereka buat, membuat infografik praktis berjudul “Beyond Fake News: Ten Types of Misleading News” yang merangkum tantangan konsumen berita saat ini5EAVI. (2018). EAVI.eu. (daring)..