Disiplin verifikasi
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam The Elements of Journalism1Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2014). The elements of journalism: What newspeople should know and the public should expect. New York: Crown Publishers., menegaskan: “Pada akhirnya, disiplin verifikasi adalah apa yang memisahkan jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi, atau seni … . Jurnalisme difokuskan pada mencatat apa yang terjadi secara benar … “.
Media sosial telah mengubah praktik jurnalisme. Keterlibatan khalayak secara real-time telah memunculkan konten urun daya (crowdsourcing), bahkan tugas peliputan seperti verifikasi sekarang dapat dialihdayakan kepada khalayak2Carvin, A. (2012). Distant witness: Social Media’s Journalism Revolution. New York, NY: CUNY Journalism Press.. Meski begitu, inti jurnalisme tetap sama, yaitu sebuah disiplin verifikasi3Kovach, B. & Rosenstiel, T. (2014). Op cit, metode verifikasi konten dan sumber perlu pembaruan terus-menerus untuk mencerminkan dampak teknologi digital, perilaku daring, dan praktik pengumpulan berita yang cepat berubah.
Sebagai contoh, selama Arab Spring, konsep “verifikasi terbuka”, yaitu proses verifikasi secara publik, kolaboratif, dan real-time, mulai muncul. Namun proses ini tetap diperdebatkan karena ada risiko misinformasi menjadi viral saat sedang terjadi upaya verifikasi informasi di forum publik (misalnya, reporter membagikan informasi yang belum diverifikasi dengan maksud untuk melakukan urun daya proses verifikasi)4 Posetti, J. & Silverman, S. (2014). When Good People Share Bad Things: The basics of social media verification. Mediashift, 24 Juli 2014. (diakses 22/04/2018)..
Saat ini, laporan saksi mata dan konten visual adalah salah satu alat paling penting dan menarik yang dapat digunakan oleh jurnalis atau penerbit berita untuk menceritakan kisah yang berdampak besar. Dalam skenario breaking news, kecepatan adalah faktor penting dalam memverifikasi informasi dari media sosial5Brandtzaeg, P., Lüders, M., Spangenberg, J., Rath-Wiggins, L. & Følstad, A. (2015). Emerging Journalistic Verification Practices Concerning Social Media. Journalism Practice, 10(3), hlm. 323-342..
Jurnalis harus dapat menavigasi lautan informasi untuk mendapatkan sumber, informasi, dan gambar yang relevan. Pertumbuhan pesat jumlah konten visual (foto, video, dan GIF) yang diunggah ke media sosial, didorong oleh tiga faktor utama:
- Perkembangan ponsel pintar di seluruh dunia6Lihat Slide 5 dalam Internet Trends Report oleh Mary Meeker (diakses 22/04/2018).;
- Peningkatan akses ke data seluler yang murah (yang di beberapa tempat,
gratis); - Munculnya jejaring sosial dan aplikasi percakapan sosial global yang dengannya seseorang dapat menerbitkan konten dan membangun khalayak
Dalam banyak skenario breaking news, akun, foto, dan rekaman video yang pertama muncul dari sebuah peristiwa—baik itu demonstrasi, kecelakaan kereta api, angin topan, maupun serangan teroris— kemungkinan akan diterbitkan oleh saksi mata, orang yang terlibat, atau orang yang kebetulan lewat dengan ponsel pintar. Teknik untuk memverifikasi konten ini bervariasi bergantung pada sumber daya, norma, dan standar redaksi, serta praktik jurnalis sendiri.
Seperti halnya teknologi, alat juga berkembang secara cepat7Schifferes, S., Newman, N., Thurman, N., Corney, D., Göker, A. & Martin, C. (2014). Identifying and Verifying News through Social Media. Digital Journalism, 2(3), hlm. 406-418.. Dalam semua verifikasi, sejumlah prinsip umum, yang disampaikan oleh Kovach dan Rosenstiel (2014)8Kovach & Rosenstiel (2014). Op cit., perlu diterapkan:
- Sunting (edit) dengan sikap skeptis;
- Buat daftar periksa akurasi;
- Jangan berasumsi—jangan disesatkan oleh penggunaan sinyal yang terkait dengan “rasa kebenaran” (“truthiness”)9Zimmer, B (2010). “Truthiness”, The New York Times (diakses 15/04/2018).;
- Berhati-hati dengan sumber anonim.
Dengan mengidentifikasi pencetus informasi atau gambar, dan melakukan pemeriksaan pada sumber dan konten yang telah mereka bagikan, Anda harus menempatkan diri Anda dalam posisi untuk memverifikasinya sebagai sumber10Bell, F. (2015). Verification: Source vs Content (online) Medium. (diakses 22/04/2018)..
Pemeriksaan ini menyerupai pekerjaan yang mungkin dilakukan jurnalis jika mereka hadir secara fisik di lokasi terjadinya peristiwa dan mewawancara saksi mata. Seorang jurnalis yang bisa melakukan wawancara langsung akan mengkritisi catatan saksi mata, menindaklanjuti detail penting, dan sampai pada kesimpulan tentang reliabilitasnya.
Naluri juga bisa menjadi panduan pendukung— bersama dengan pengamatan terhadap perilaku. Proses mengonfirmasi sumber secara digital harus memungkinkan pengambilan kesimpulan, bahkan saat jurnalis tidak bisa berbicara kepada seseorang secara langsung atau real-time11Kovach & Rosenstiel (2014). Op cit..
Banyak redaksi besar memiliki tim dan teknologi mahal, atau agensi yang menyediakan layanan, yang didedikasikan untuk menemukan konten ini secepat mungkin12Diakopoulos N., De Choudhury M. & Naaman M. (2012). Finding and assessing social media information sources in the context of journalism. Conference on Human Factors in Computing Systems – Proceedings, hlm. 2451-2460. (diakses 22/04/2018)., sambil memperoleh hak penerbitan dan penyiaran serta memverifikasi konten sebelum dipublikasikan.
Sebagian besar redaksi kecil dan banyak jurnalis perorangan tidak memiliki sumber daya yang sama13Schifferes, S., Newman, N., Thurman, N., Corney, D., Goker, A.S. & Martin, C. (2014). Identifying and verifying news through social media: Developing a user-centred tool for professional journalists. Digital Journalism, 2(3), hlm. 406-418. (diakses 22/04/2018)., dan mengandalkan metodologi mereka sendiri untuk memastikan kepercayaan14Brandtzaeg, P. B., Lüders, M., Spangenberg, J., Rath-Wiggins, L., & Følstad, A. (2016). Emerging journalistic verification practices concerning social media. Journalism Practice, 10(3), 323-342..