Beranda  »  Sorotan Media   »   9 Strategi WEF untuk Tata Kelola AI

9 Strategi WEF untuk Tata Kelola AI

Oleh: Melekmedia -- 23 Oktober, 2025 
Tentang: ,  –  Komentar Anda?

a notebook sitting on the side of a football field

Tiga tahun sejak era “momen AI generatif” dimulai, Akal Imitasi (AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, ada jurang besar dalam tata kelola AI: Kurang dari 1% organisasi yang mengoperasionalkan Responsible AI (RAI) secara komprehensif.

Padahal, organisasi yang menerapkan RAI melaporkan manfaat nyata, mulai dari peningkatan efisiensi hingga penguatan kepercayaan pelanggan. World Economic Forum (WEF) pun mengulasnya dalam panduan Advancing Responsible AI Innovation: A Playbook (September 2025).

Laporan ini, hasil kolaborasi dengan Accenture dan melibatkan lebih dari 650 pakar global, menawarkan sebuah peta jalan: Mengubah RAI dari sekadar daftar periksa kepatuhan menjadi pendorong strategis dan keunggulan kompetitif.

Responsible AI (RAI) didefinisikan sebagai praktik mengembangkan dan mengelola sistem AI yang memaksimalkan manfaat sekaligus meminimalkan risiko terhadap manusia, masyarakat, dan lingkungan. Kesenjangan implementasinya berkonsekuensi serius: memperlambat inovasi, mengikis kepercayaan, dan membatasi potensi transformatif AI.

Hambatan utama yang dihadapipemimpin bisnis yang belum mengadopsinya antara lain:

  • Internal: Kesulitan dalam mengoperasionalkan prinsip-prinsip etika menjadi praktik yang dapat diskalakan dan investasi yang tidak memadai pada talenta dan alat RAI.
  • Ekosistem: Fragmentasi regulasi global dan perubahan kebijakan yang mendadak tanpa panduan implementasi yang jelas.

Di tengah lanskap tata kelola AI global yang semakin kompleks—dengan Uni Eropa, AS, Tiongkok, hingga Brasil dan Indonesia yang memperbarui strategi nasional—situasi ini adalah tantangan sekaligus peluang. Organisasi yang mengambil inisiatif sekarang, akan memiliki keunggulan daya saing yang signifikan.

9 Strategi Kunci WEF: Dari Prinsip ke Praktik

Playbook WEF menawarkan 9 strategi (plays) yang adaptif dan dapat ditindaklanjuti untuk membantu organisasi membangun sistem tata kelola AI yang tangguh. Strategi-strategi ini terbagi dalam tiga dimensi utama:

Dimensi 1: Fondasi Internal Organisasi

Ini adalah fondasi tata kelola yang memastikan RAI tertanam dalam budaya dan struktur organisasi:

  • Play 1. Membangun Kepemimpinan dan Komitmen: Memastikan pemimpin mengenali nilai RAI dan mengkomunikasikan komitmen organisasi pada semua level.
  • Play 2. Mengimplementasikan Kebijakan dan Standar: Menetapkan kebijakan yang jelas dan standar operasional yang dapat diukur untuk penggunaan AI yang bertanggung jawab.
  • Play 3. Membangun Kerangka Tata Kelola: Mendefinisikan peran kunci, struktur organisasi, dan menumbuhkan budaya akuntabilitas bersama.

Dimensi 2: Operasionalisasi dan Eksekusi

Bagian ini berfokus pada integrasi RAI ke dalam alur kerja sehari-hari dan praktik teknis:

  • Play 4. Integrasi ke Dalam Alur Kerja Harian: Menyematkan praktik RAI langsung ke dalam pengembangan produk dan proses pengambilan keputusan, bukan sekadar “daftar periksa kepatuhan”.
  • Play 5. Evaluasi Risiko AI dalam Skala Besar: Mengembangkan kemampuan untuk menilai risiko AI secara sistematis, menggunakan metodologi terstandarisasi dan monitoring berkelanjutan.
  • Play 6. Menyelaraskan Insentif dengan Performa yang Bertanggung Jawab: Menghubungkan kompensasi dan penghargaan dengan praktik RAI, mendorong perilaku etis.

Dimensi 3: Kolaborasi Ekosistem

RAI tidak dapat dilakukan sendiri. Kolaborasi adalah kunci untuk mengatasi fragmentasi global:

  • Play 7. Mendorong Kemitraan Publik-Privat: Bekerja sama dengan pemerintah dalam membentuk regulasi dan berbagi praktik terbaik.
  • Play 8. Membangun Interoperabilitas Lintas Yurisdiksi: Mengembangkan kerangka tata kelola yang kompatibel secara global untuk memfasilitasi inovasi yang dapat diskalakan.
  • Play 9. Mendorong Inovasi Terbuka: Berbagi alat, metodologi, dan sumber daya untuk membangun ekosistem AI yang inklusif dan kolaboratif.

Manfaat Nyata RAI: Dari Risiko ke Daya Saing

Playbook ini memperjelas: RAI adalah enabler inovasi. Organisasi yang bertindak melaporkan manfaat di empat area kunci:

  • Operasional. Peningkatan efisiensi, pengurangan risiko operasional, dan skalabilitas yang lebih baik.
  • Reputasi. Peningkatan kepercayaan pelanggan, kepercayaan stakeholder yang lebih kuat, dan brand value yang lebih tinggi.
  • Strategis. Kepatuhan regulasi yang lebih mudah, kemampuan ekspansi global, dan posisi kompetitif yang lebih kuat.
  • Inovasi. Fondasi kuat untuk adopsi kemampuan AI yang lebih maju (seperti AI agentic) yang mengandalkan tata kelola yang kuat.

Amir Banifatemi, Chief Responsible AI Officer Cognizant, menyebut: “Dengan mengoperasionalkan Responsible AI dan mendemonstrasikannya, organisasi dapat berkembang lebih cepat, memenuhi persyaratan lintas batas, dan mengubah kepercayaan menjadi keunggulan kompetitif.”

Peran Krusial Pemerintah dan Warga Digital

Laporan ini juga menekankan peran vital pemerintah untuk menciptakan enabling environment melalui:

  1. Kemitraan Publik-Privat untuk co-creation regulasi yang efektif.
  2. Kerja Sama Internasional untuk mencegah fragmentasi regulasi yang kontraproduktif.
  3. Infrastruktur Pendukung (misalnya, registri risiko AI, sistem pelaporan insiden).

Bagi Indonesia, panduan ini sangat relevan. Adopsi early responsible AI dapat menjadi keunggulan kompetitif untuk menarik investasi. Kita dapat belajar dari praktik terbaik global, mengadaptasi 9 strategi WEF ke konteks lokal, dan berpartisipasi aktif dalam tata kelola AI regional (ASEAN).

Sebagai warga digital dan konsumen, kita juga memiliki peran: Menggunakan AI secar akritis, mendukung organisasi yang transparan, dan berpartisipasi dalam dialog publik untuk mendorong regulasi yang melindungi hak-hak dasar.

Kesimpulan: Jangan Menunggu, Mulai Sekarang

Kesenjangan implementasi RAI saat ini—di mana kurang dari 1% organisasi telah bertindak menyeluruh—sebenarnya adalah peluang besar. Risiko untuk tidak bertindak sangat tinggi, dengan misinformasi dan disinformasi yang dipercepat AI sebagai ancaman jangka pendek teratas.

Organisasi sebaiknya mulai menilai tingkat kematangan RAI masing-masing, dan memprioritaskan tahapan plays yang relevan, mengimplementasikan dalam proyek percontohan, dan menerapkannya secara utuh ke seluruh organisasi.

Bagi Pemerintah, sebaiknya mulai melibatkan stakeholder, mengharmoniskan kerangka kerja secara internasional, dan mendukung lingkungan inovasi yang bertanggung jawab.

    Responsible AI bukan penghambat, tetapi enabler kritis yang memungkinkan AI berkembang dengan aman, berkelanjutan, dan inklusif. Laporan ini tak lagi membahas apakah kita butuh RAI, tetapi seberapa cepat kita dapat mengubah prinsip menjadi praktik yang berdampak nyata.

    *Photo by Mario Verduzco via Unsplash

    Artikel lain sekategori:

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

    ```

    Topik
    Komentar
    Materi Kursus