Beranda  »  Sorotan Media   »   Ketika AI Gagal, Manusia Kembali Dicari

Ketika AI Gagal, Manusia Kembali Dicari

Oleh: Melekmedia -- 7 September, 2025 
Tentang:  –  Komentar Anda?

2 person wearing blue denim jeans

Di tengah euforia kemajuan teknologi akal imitasi (AI) yang digadang-gadang akan menggantikan banyak pekerjaan manusia, muncul sebuah ironi yang menarik: Perusahaan-perusahaan kini justru merekrut kembali manusia untuk memperbaiki kesalahan oleh AI gagal.

Tren AI gagal ini menjadi bukti nyata bahwa AI bukanlah solusi instan yang sempurna. Fenomena ini bermula ketika banyak perusahaan mengandalkan AI generatif untuk berbagai tugas, mulai dari penulisan konten, desain grafis, hingga pengembangan kode program.

Tujuannya awalnya untuk menghemat biaya dan mempercepat produksi. Namun, alih-alih efisiensi, yang sering terjadi justru sebaliknya. Output dari AI sering kali tidak memenuhi standar, dipenuhi dengan kesalahan, atau bahkan menghasilkan konten yang tidak akurat.

Menurut laporan dari Futurism, AI gagal bahkan dalam tugas-tugas dasar. Misalnya, AI dapat membuat logo dengan teks yang tidak terbaca, menghasilkan artikel yang terdengar kaku dan tidak natural, atau membuat kode program yang penuh dengan bugs.

Keterbatasan ini berasal dari cara AI dilatih: mereka belajar dari data yang ada di internet, yang sering kali tidak sempurna, bias, atau bahkan salah.

Masalah etika juga menjadi sorotan. AI bisa menghasilkan konten yang bias atau sensitif secara budaya karena “meniru” prasangka yang ada di data pelatihan. Hal-hal seperti inilah yang tidak bisa diselesaikan oleh AI itu sendiri.

Situasi ini melahirkan peran pekerjaan baru, yang dijuluki “AI fixers” atau “tukang perbaiki AI”. Di sinilah letak irono tersebut: Perusahaan-perusahaan terpaksa merekrut para ahli dan pekerja lepas manusia untuk meninjau dan memperbaiki hasil kerja AI yang buruk.

Yahoo News Singapore melaporkan bahwa para pekerja tersebut kini sangat dibutuhkan di berbagai industri. Seorang desainer grafis lepas bernama Lisa Carstens, misalnya, kini banyak menerima proyek untuk memperbaiki logo-logo buatan AI yang tidak rapi.

Sementara itu, penulis lepas seperti Kiesha Richardson menghabiskan separuh waktunya untuk menulis ulang konten yang dihasilkan AI agar terdengar lebih manusiawi dan akurat.

Lebih dari sekadar memperbaiki kesalahan teknis, peran manusia juga meluas ke bidang etika. WebProNews mencatat munculnya peran seperti AI ethicist dan bias auditor, yang bertanggung jawab memastikan AI tidak menghasilkan konten yang diskriminatif atau tidak adil .

Kesimpulan dari tren ini sangat jelas: AI adalah alat yang kuat untuk membantu pekerjaan, tetapi tidak (belum) bisa berfungsi secara mandiri. AI tidak memiliki kreativitas unik, penilaian, atau sentuhan emosional yang hanya dimiliki manusia.

Saat AI Gagal, Kepercayaan Turun

Perkembangan AI tidak akan sepenuhnya menghilangkan kebutuhan akan tenaga kerja manusia. Sebaliknya, hal ini justru menciptakan peran-peran baru yang menekankan pentingnya pengawasan, koreksi, dan pemahaman mendalam yang hanya bisa diberikan oleh manusia.

Belakangan, sejumlah studi menunjukkan gambaran yang suram. Sebuah penelitian dari Universitas Stanford, seperti dilaporkan CNBC, menemukan bahwa AI secara signifikan telah mengubah pasar kerja di AS, terutama memengaruhi pekerjaan bagi pekerja muda atau tingkat pemula.

Sejak 2022, pekerjaan untuk pekerja berusia 22 hingga 25 tahun di sektor yang paling terpapar AI, seperti rekayasa perangkat lunak dan layanan pelanggan, telah mengalami penurunan hingga 13% .

Menurut seorang profesor ilmu komputer, Roman Yampolskiy, bahkan lebih ekstrem. Dalam wawancaranya dengan Indian Express, ia memperingatkan bahwa AI dapat menyebabkan 99% pengangguran global pada tahun 2030.

Ia memprediksi bahwa begitu AI umum (AGI) tiba, semua pekerjaan yang dilakukan di komputer akan terotomatisasi, diikuti oleh pekerjaan fisik yang akan diambil alih oleh robot humanoid.

Meski demikian, kasus kegagalan pemanfaatan AI di industri kian marak. Perusahaan fintech asal Swedia, Klarna, sempat memecat 700 orang karyawan dan menggantinya dengan AI pada 2023. Kini mereka mengakui keputusan itu salah.

CEO Klarna, Sebastian Siemiatkowski, menyatakan kecepatan dan efisiensi lantaran AI berbanding terbalik dengan tingkat kepuasan pelanggan. Ada kasus kompleks yang tak bisa ditangani AI, semisal pencurian identitas.

Pada tahun yang sama, IBM juga melakukan PHK besar, sekitar 8.000 pekerja, terutama di divisi HR (Human Resources). Mereka mengganti fungsi HR dengan AskHR, sebuah sistem AI internal yang dirancang untuk menangani tugas-tugas administratif rutin. Apa yang terjadi?

IBM menemukan bahwa: Kurangnya empati dan sensitivitas. Mereka menyadari kerja HR bukan hanya administrasi, tapi juga menyangkut konflik, isu personal, atau isu emosional (misalnya diskriminasi, burnout, sengketa kerja).

AI tidak bisa menilai secara subjektif, sementara banyak keputusan HR memerlukan pertimbangan manusia (nuansa sosial, keadilan, konteks budaya). Karyawan pun frustrasi karena interaksi dengan bot itu dingin, kaku, dan tidak menyelesaikan masalah secara “manusiawi”.

Akibatnya, AI bisa menyelesaikan 94% tugas rutin, sedangkan 6% sisanya yang gagal ia selesaikan justru paling penting untuk membangun kepercayaan dan relasi antar-manusia. AI terbukti hanya cocok untuk pekerjaan rutin, mekanis, dan berbasis data. Human-in-the-loop adalah model yang lebih realistis: AI mengurus volume, manusia mengurus empati dan kompleksitas.

Survei dari Orgvue (April 2025) mengungkap paradoks: 40% eksekutif mengaku sudah memangkas tenaga kerja karena AI; 55% di antaranya menyesal karena hasil AI tidak sesuai ekspektasi; Seperempat perusahaan bahkan tidak tahu posisi apa yang cocok untuk otomatisasi.

Laporan mereka pun menyoroti penurunan pemimpin yang percaya AI bisa menghilangkan peran manusia (dari 54% pada 2024 menjadi 48% pada 2025),

*Photo by Roselyn Tirado via Unsplash

Artikel lain sekategori:

Komentar Anda?


Topik
Komentar
Materi Kursus