Ingat Film Bowling for Columbine (2002)? Selain tontonan, film ini bisa jadi media pembelajaran soal kekerasan. Kreatornya bahkan mempersiapkan panduan penggunaan film ini untuk para guru di sekolah.
Bowling for Columbine bukan film dokumenter biasa. Menggabungkan laporan berita mencolok, situasi aneh, kisah ironis, wawancara tegang, dan animasi gaya South Park, ini adalah film dokumenter untuk generasi baru.
Setidaknya demikian menurut pengulas film ini, Dan Robey. Sang sutradara, Michael Moore, membongkar mitos di balik kekerasan dalam aksi penembakan massal oleh remaja.
Film dokumenter ini berangkat dari tragedi pada 20 April 1999. Dua siswa senior di Columbine High School atau SMA Columbine di Littleton, Colorado, AS, melepaskan tembakan membabi buta ke arah seisi sekolah.
Serangan di sekolah dengan 1.800 siswa itu berlangsung lebih dari 60 menit, pada pukul 11.19 hingga 12.08 waktu setempat.
Bak malaikat pencabut nyawa, Eric Harris dan Dylan Klebold beraksi menyerang SMA Columbine dengan senapan otomatis dan bom rakitan. Bom gagal meledak, dengan tenang mereka mengangkat senjatanya.
Mengenakan balaclava–sejenis penutup wajah–dan mantel panjang, mereka memuntahkan peluru ke arah massa. Sebanyak 12 siswa dan seorang guru tewas. Sebanyak 24 lainnya dilaporkan luka-luka.
Kekerasan bersenjata, rutin jadi berita di Amerika Serikat. Michael Moore lalu turun ke jalan-jalan AS dan Kanada, mempertanyakan mengapa AS tampak seperti bangsa yang kejam, terutama ketika senjata terlibat.
Spekulasi liar sempat beredar tentang kemungkinan motivasi Harris dan Klebold. Dalam waktu 24 jam, kedua remaja dicap sebagai gothic, terbuang dan anggota geng yang dijuluki “Trench Coat Mafia”.
Ada pula yang menyebut tindakan mereka sebagai balas dendam atas perundungan dari teman sekolah. Laporan lain mengklaim pasangan itu pemuja setan, atau supremasi kulit putih, memilih tanggal serangan untuk menandai ulang tahun Adolf Hitler.
Belakangan terbukti, tak satu pun dari klaim ini benar adanya. Rencana penembakan itu ditemukan dalam sketsa di buku jurnal Eric Harris bertarikh 26 April 1998.
April berikutnya Harris berjanji, dia dan temannya, Dylan Klebold, akan “menjalankan seleksi alam dalam tingkatan berbeda” dengan meledakkan bom api, gas klorin, dan bom asap di Columbine High School.
“Ini akan seperti kerusuhan LA, pengeboman Oklahoma, Perang Dunia II, Vietnam, (video game) Duke [Nukem], dan Doom semua bercampur menjadi satu,” tulis Harris. “Saya ingin meninggalkan kesan abadi di dunia,” tegasnya.
Di paruh pertama film, Moore mencoba mencari penjelasan mengapa AS memiliki insiden kekerasan senjata begitu tinggi, dan setiap kali, dia membantah penjelasan itu dengan percakapan atau contoh tandingan.
Awalnya, Moore menunjukkan alasan di balik kekerasan di AS adalah budaya ketakutan yang disebarluaskan. Dari acara televisi tentang aksi polisi hingga berita malam, sebagian besar berisi kejahatan kekerasan.
Moore tampaknya setuju, saat ia membuat kolase berita utama televisi yang memapar pemirsa dengan gambaran kejahatan demi kejahatan; masing-masing gambaran berusaha memperkuat maksud Moore.
Apakah ini sejarah kekerasan di AS? Apakah media telah mengajarkan kekerasan? Moore kembali membantahnya dengan menunjukkan sejarah peradaban Eropa. “Lalu apa yang mendorong kita melakukan pembunuhan?”
“Apakah karena kita memiliki begitu banyak senjata?,” tanyanya lagi.
Moore mengembara dari wawancara ke wawancara. Salah satu kunjungan pertamanya ke sebuah bank di Michigan, yang memberi senapan kepada siapa saja yang membuka rekening baru.
Pertukaran yang dia lakukan di sana dengan agen pembuat rekening bank, diiringi pertanyaan sinis, “Apakah menurut Anda tidak berbahaya membagikan senjata di bank?”
Namun, Moore juga membuktikan, negara tetangga mereka, Kanada yang juga menonton film kekerasan yang sama, memiliki kebebasan perdagangan senjata yang sama, memiliki rekor pembunuhan bak langit dengan bumi.
Data menunjukkan, dibandingkan dengan negara lainnya: Kanada, Eropa, Asia atau Australia, AS menduduki peringkat teratas pembunuhan akibat kekerasan senjata per tahunnya dengan total 11.127 kasus.
“Tidak, Kanada memiliki jumlah senjata yang hampir sama dengan kita, dan mereka memiliki kurang dari sepertiga kasus pembunuhan terkait senjata dibandingkan kita,” jawabnya.
Bila ekspos terhadap kekerasan dan tingkat kepemilikan senjata bukan jawabannya, lalu apa?
Film Moore ini lalu memusatkan perhatian pada Marilyn Manson (MM) dan grup musiknya yang juga dituding turut bertanggung jawab. Pasalnya, siswa pelaku penembakan disebut-sebut sebagai fans MM.
Tudingan muncul lantaran ada klaim palsu bahwa pasangan pelaku mengenakan T?shirts pada hari nahas. “Harris dan Klebold terinspirasi untuk membunuh oleh musik Marilyn Manson,” demikian kepala berita yang baru.
The Sun pun menulis “Killers Worshiped Rock Freak Manson”; “?Nutters Loved Evil Pop Hero” tulis The Daily Star; Media juga mengklaim Harris dan Klebold penggemar KMFDM, Rammstein, dan Nine Inch Nails.
The Guardian mengajukan pertanyaan dalam beritanya “Did goth culture turn two teenagers into killers?”; sementara The Times memuat profil Manson dengan judul “Cult Following Of Rock Star Who Aped Serial Killer”.
Intinya, musik rock yang “marah-marah” dan menyebarkan ajaran sesat, jadi kambing hitam budaya kekerasan. Media, lagi-lagi dianggap jadi biang keladi munculnya kekerasan.
Tentu saja, Manson membantah. Dalam tulisannya di Rolling Stone, ia bilang, “Dari Jesse James hingga Charles Manson, media sejak awal telah mengubah penjahat menjadi pahlawan. Mereka baru saja membuat dua yang baru ketika menayangkan wajah Dylan Klebold dan Eric Harris di bagian depan setiap surat kabar.”
Tulisan itupun menambahkan, “Jangan heran bila setiap anak (di AS) memiliki dua idola baru.”
Marilyn Manson memang sedang pada puncak ketenarannya saat itu. Namun, sifat konfrontatif dari musik dan citra grup mereka memicu amarah kaum konservatif di AS.
Banyak politisi konservatif melobi agar penampilan mereka dilarang, mengutip klaim palsu dan berlebihan bahwa pertunjukan MM mengandung pengorbanan hewan, kebinatangan dan pemerkosaan.
Konser mereka secara rutin diikuti oleh para pendukung agama dan kelompok orang tua, yang menyatakan bahwa musik mereka memiliki pengaruh merusak pada budaya anak muda dengan menghasut “pemerkosaan, pembunuhan, penistaan agama, dan bunuh diri”.
Pada awal tulisan di Rolling Stone, Manson menjelaskan bahwa musiknya justru kritik terhadap moral. “Banyak orang lupa atau tidak pernah menyadari bahwa saya memulai band saya sebagai kritik terhadap masalah keputusasaan dan kemunafikan,” tulisnya.
Moore secara sarkas menunjukkan bahwa menyalahkan Manson atas penembakan Columbine, sama dengan menyalahkan bowling. Kedua siswa yang bertanggung jawab atas penembakan itu sempat pergi ke kelas bowling sebelum pembantaian dijalankan.
Seperti biasa, Moore membuat film ini menangkap masalah yang sangat nyata. Humor, kebanyakan ironis, membantu meringankan film. Gayanya yang menjauhi khotbah, cukup untuk membuat penonton tetap bisa tersenyum meski Moore mengangkat isu yang cukup berat.
Metodenya mungkin dipertanyakan, tetapi masalah yang diajukan Moore tidak. Orang Amerika terpesona oleh senjata, dan membiarkan alasan di balik fetish terhadap senjata ini. Moore, memaksa publik untuk memikirkan kembali pandangan atas kepemilikan senjata selama ini.
Dia tidak memaksa pemirsa untuk menolak atau mengadopsi pandangannya. Moore membuat penonton harus menciptakan jawaban sendiri. Bowling for Columbine adalah film kontroversial yang mengangkat masalah di semua sisi, dan dengan cerdas memaksa penonton untuk berpikir.
Film dokumenter seperti ini bukan sekadar alat bantu belajar. Ia adalah media untuk belajar tentang kekerasan, bukan mengajarkan kekerasan. Banyak informasi baru di sana, ekspos terhadap sikap pihak-pihak tertentu (pro-kontra), bahkan ada upaya menghadang misinformasi (seperti dalam kasus Marilyn Manson).
Nah, kalau mau bicara tentang kekerasan di dalam kelas, materi ini bisa digunakan. Banyak sekali kok media belajar yang bisa dimanfaatkan, asal mau kreatif… Selamat Belajar!
[…sebuah perjalanan mengarungi Amerika dan masa lalu, berharap untuk menemukan mengapa untuk bahagia harus menghadapi banyak kekerasan.]
mantaft 😀