Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   NFT dan Desas-desus Tentangnya

NFT dan Desas-desus Tentangnya

Oleh: Melekmedia -- 17 Januari, 2022 
Tentang: ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada NFT dan Desas-desus Tentangnya

Non-Fungible Token

Apa sih itu NFT? Beli NFT untuk apa? Banyak pertanyaan dan penjelasan ihwal NFT beredar di media sosial, lantaran berita penjualan foto-foto selfie seharga miliaran rupiah.

Sultan Gustaf Al-Ghozali (22) mendadak heboh lantaran meraup miliran rupiah dari jualan NFT swafoto dirinya. Setidaknya Rp1,5 miliar sudah dikantongi Ghozali dari hasil transaksi ratusan swafoto tersebut.

Semudah itukah menangguk untung lewat NFT? Sebentar, Ferguso. Tidak ada yang bisa menjamin NFT sebuah aset bisa dijual dengan mudah dengan harga mahal. Nilainya sangat subyektif, mudah berubah, tergantung pasar.

NFT, lengkapnya adalah Non-Fungible Token. Sesuai hukum D-M (Diterangkan-Menerangkan) dalam bahasa Indonesia, bila kita terjemahkan jadinya: “Token yang tak dapat dipertukarkan”.

Maka fokusnya adalah “Token”. Adapun frasa “Tak dapat dipertukarkan” menjelaskan fitrah si Token.

Merujuk KBBI, kata token bermakna “kemunculan kata, angka, atau huruf yang terpisahkan oleh spasi dalam suatu teks.” Sayangnya, bukan itu yang kita butuhkan di sini.

Terjemahan token dari bahasa Inggris mungkin lebih relevan, “Sesuatu yang berfungsi sebagai representasi kasat mata atau berwujud dari obyek tak kasat mata seperti fakta, kualitas, perasaan, dll”.

Sederhananya, token merupakan bukti eksistensi. Frasa “Tak dapat dipertukarkan”, menegaskan NFT bersifat unik alias tak ada obyek lain yang setara nilainya (bahkan bila obyek NFT tersebut hasil produksi massal).

Kok bisa, barang produksi massal ada yang nilainya jauh lebih mahal dari harga pasaran? Ini akan kita bahas nanti mengenai varian lain dari NFT, yang disebut Semi-Fungible NFT.

Tahapan ber-NFT

NFT bisa juga dideskripsikan sebagai “representasi atas kepemilikan aset yang unik”. Istilah NFT tidak merujuk pada obyeknya (berkas gambar, lagu, dsb.), melainkan representasi terhadap obyek atau aset yang dicatatkan.

Misalnya dalam koleksi swafoto Ghozali di OpenSea bertajuk “Ghozali Everyday”. Sebanyak 932 foto diri yang unik dibuat sejak 2017 diunggahnya ke OpenSea per 1 Januari 2022 dan “didaftarkan” sebagai NFT.

Masing-masing foto dianggap bersifat unik, karena foto Ghozali hari ini berbeda dengan swafotonya kemarin, pun foto dirinya besok. Lewat proses yang disebut minting, foto-foto itupun masing-masing mendapat “sertifikat”.

Apa lagi itu minting? Minting adalah proses “mendaftarkan” atau mencatatkan aset ke dalam sistem blockchain – buku besar terbuka untuk publik yang tidak dapat diubah dan dirusak.

Proses ini disebut juga tokenisasi, karena membuat token digital dari aset sehingga dapat dipindahkan, disimpan, dan direkam di blockchain.

Melalui proses ini, setiap aset dicatatkan dan direpresentasikan dalam bentuk NFT. Jejaknya dapat dilacak saat ditransaksikan sejak pertama “dicetak” hingga tak terhingga, lewat tautan setiap NFT.

Transaksi perdana di OpenSea butuh biaya hingga ratusan dolar AS. Pun transaksi berikutnya butuh puluhan dolar AS. Namun, ada alternatif untuk mencatatkan NFT secara gratis di lokapasar itu, menggunakan blok Polygon.

Selain itu, ada biaya yang harus dibayar pemilik NFT ke OpenSea, yaitu ongkos transaksi sebesar 2,5 persen dari harga NFT saat terjual. Bila NFT dijual oleh pemilik tangan kedua (dan seterusnya), harus membayar royalti ke pemilik pertama sebesar 10 persen.

Contoh detail proses membuat wallet, mengupload karya, proses minting, dan penjualannya, bisa dilihat di video di tautan ini. Video tersebut berlaku untuk OpenSea, pasar NFT yang saat ini tengah populer.

Satu NFT untuk satu aset

Untuk apa beli NFT? Sejauh ini, orang-orang memburu NFT demi koleksi, dan investasi. Seperti barang antik, NFT suatu saat bisa dijual kembali dengan harga jauh lebih tinggi. Selisihnya bisa jadi cuan dalam investasi.

Menurut hasil riset M. Nadini, Alessandretti, Di Giacinto, dkk (2021), NFT yang populer dapat dikategorikan dalam enam kelompok: Seni, Koleksi, Game, Metaverse, Lainnya, dan Utilitas.

Sementara, saat artikel ini ditulis, OpenSea memiliki setidaknya 10 kategori: Art, Collectible, Domain Names, Music, Photography, Sports, Trading Cards, Utility, Virtual World, dan satu kategori umum New.

Jelas bahwa NFT tidak eksklusif tentang jual-beli koleksi karya seni. Aset fisik (non-digital) pun bisa. Bahkan kentut bisa jadi aset. Awalnya NFT populer di kalangan seniman, karena jadi pembuka tren pada Desember 2017.

Adalah CryptoKitties, kumpulan gambar artistik kucing virtual dalam gim di Ethereum yang menjadi NFT terpopuler selama hampir 2 tahun.

Pasar NFT merebak per Juli 2020, dan semakin menarik perhatian setahun kemudian. Nyan Cat, animasi gif karya Chris Torres pada Februari 2021 silam laku dijual sebagai NFT seharga AS $580 ribu.

Desainer sekaligus seniman digital yang dikenal sebagai Beeple (Michael Joseph Winkelmann) menjual NFT karyanya seharga AS $69,3 juta di balai lelang Christie’s.

Pembelian tersebut menghasilkan harga lelang tertinggi ketiga yang dicapai untuk seniman yang masih hidup, setelah Jeff Koons dan David Hockney.

Beberapa rekor penjualan lainnya adalah tiga Cryptopunks—kumpulan 10.000 karakter digital unik yang dibuat secara otomatis—dijual masing-masing seharga AS $11,8, $7,6, dan $7,6 juta.

Lalu kicauan perdana di Twitter dari Jack Dorsey, terjual seharga $2,9 juta dolar; dan NFT video musik dan lagu dansa “Auction Winner Picks Name” yang dibanderol AS $1,33 juta dolar.

Di antara NFT termahal barusan, kicauan Jack Dorsey jelas bukan karya seni seperti karakter gim atau video musik. Namun semuanya merupakan contoh NFT klasik, yang hanya membuat satu token untuk satu aset.

Jenis-jenis NFT

Multi NFT untuk satu aset

Ada pula yang mencetak lebih dari satu salinan aset, atau semi-fungible token. Ini adalah jenis token NFT yang agak berbeda dengan NFT klasik–yang hanya membuat satu token untuk setiap aset.

Misal merchandise kaos klub sepak bola Juventus dari Liga Italia, yang dibanderol Rp1,5-2 juta. Kaos yang dijual itu bisa menggunakan nama pemain, bisa juga kosongan. Bayangkan kaos berlabel nama Ronaldo.

Bila setiap kaos Ronaldo yang beredar diandaikan sebagai salinan sebuah aset, masing-masing salinan itu bisa memiliki NFT-nya tersendiri. Jumlah NFT pun makin banyak untuk satu jenis aset (kaos Ronaldo).

NFT untuk setiap salinan kaos hitam-putih bernomor punggung 7 dengan cetakan nama Ronaldo, itu harganya akan berbeda dengan NFT kaos “asli” yang benar-benar dipakai oleh Ronaldo saat berlaga.

Kenapa bisa? Ya bisa saja, karena ada nilai lain yang melekat. Selain harga produksi, ada “harga” lain yang harus dibayar pembeli. Misalnya, kaos Ronaldo itu digunakan saat laga bersejarah, atau momen istimewa lainnya.

Dengan demikian, semi-fungible ini memungkinkan banyak pembeli memiliki salinan aset, meski ada yang bisa memiliki NFT untuk salinan paling berharga.

Bagi pemilik aset, dapat menyimpan NFT untuk satu jenis aset dalam banyak jenis dompet (wallet). Ini memudahkan transaksi dengan berbagai kalangan, di berbagai pasar NFT.

Tetapi ada perbedaan fitur dibanding NFT klasik. Misalnya di OpenSea, dijelaskan bahwa semi-fungible yang menggunakan standar ERC1155 tak bisa digunakan dalam pelelangan.

Standar token ini juga tidak memungkinkan pemiliknya untuk menurunkan harga jual setelah di-listing. Kelemahan lainnya, dompet kripto seperti MetaMask versi mobile, sering bermasalah menampilkannya di aplikasi.

Dilema sentralisasi vs desentralisasi

Desas-desus lain yang sering beredar soal NFT adalah, isu sentralisasi vs desentralisasi. Blockchain sebagai buku besar pencatatan transaksi NFT, pada dasarnya desentralisasi.

Bayangkan saat membeli add-on dalam video game, aset tersebut hanya ada di platform penerbit gim; file yang di-host di server perusahaan. Bila pengembangan gim tak berlanjut, atau perusahaan itu tutup, semuanya menghilang.

Inilah masalah sentralisasi infrastruktur yang dianggap sebagai risiko platform. Karena data tersimpan secara terpusat di peladen milik perusahaan, kendali ada di satu pihak. Risiko keamanan pun tinggi.

Sebaliknya, NFT berinteraksi langsung dengan blockchain, yang berarti setiap komputer di jaringan menyimpan catatan lengkap tentang apa yang sebenarnya terjadi pada berkas tersebut.

Tidak ada satu perusahaan pun yang bertanggung jawab untuk menyimpan data; Andai satu komputer dalam jejaring hancur, yang lain bisa menggantikan perannya.

Lalu bagaimana saat konten tak layak muncul di pasar NFT? OpenSea pernah heboh karena NFT tentang gambar-gambar Hitler mendapat perhatian, dengan lebih dari 20 ribu tanda like pada salah satu NFT-nya.

Laman akun dan konten seputar Hitler tersebut kini telah dihapus, tetapi NFT-nya di blockchain tetap ada. Ingat, bila telah masuk blockchain sulit untuk menghapus atau merusak catatannya.

Bila ada pengembang situs yang membuat laman khusus untuk menampilkan kembali NFT seputar Hitler (atau isu lain yang tak layak), datanya tetap tersedia di blockchain karena telanjur diverifikasi secara desentralistik.

Isu ini mengundang dilema soal sentralisasi (dengan sistem moderasi yang ketat), dan desentralisasi yang memercayakan kendali pada publik.

Semua pihak mungkin setuju bahwa NFT pemuja Hitler tidak boleh dijual di pasar terbuka, tetapi bukankah itu risiko karena memberi keleluasaan bagi individu melakukan apapun di blockchain?

Will Gottsegen yang menulis artikel tentang hal ini di CoinDesk mengatakan, kenyataannya platform seperti OpenSea sudah menjalankan kebijaksanaan (sentralisasi-moderasi) macam itu.

OpenSea adalah perusahaan swasta yang jelas-jelas bakal mengikuti panggilan semacam itu. Teknologinya mungkin desentralistik, tetapi pasar terbuka cenderung menginginkan teknologi terpusat.

“Itu benar-benar berlaku pada Web 2, saat Amazon dan Microsoft mendominasi. Dan kini (sentralisasi) itu menular di pasar NFT, setidaknya (dalam beberapa kasus) sejauh ini,” tulis Gottsegen.

Sebenarnya ada desas-desus lain soal borosnya penggunaan energi dalam komputasi kripto yang berdampak pada perubahan iklim. Tapi akan kita bahas di lain waktu.

*Network vector created by freepik.com

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.