Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Iklan Televisi dan Kebohongan Publik Terstruktur

Iklan Televisi dan Kebohongan Publik Terstruktur

Oleh: rahadian p. paramita -- 26 Maret, 2010 
Tentang: , ,  –  4 Komentar

Iklan Televisi

Jika suatu masa kita pernah menghilangkan ratusan bahkan ribuan nyawa orang, atau menghilangkan hak-hak mereka, tenang saja. Ada obat yang paling jitu. Bertobatlah dengan membuat iklan! Terutama iklan di televisi.

Iklan, menawarkan kesadaran palsu tentang sesuatu. Karena mencari iklan yang populer tentang pembenaran genosida sulit didapat, mari tengok kebiasaan merokok. Rasanya semua perokok tahu bahwa rokok itu tidak baik dampaknya bagi kesehatan. Maka tak ada iklan yang menyenggol soal dampak kesehatan merokok.

Alih-alih iklan, peringatan bahwa merokok bisa mengganggu kesehatan sudah tertera pada setiap bungkus rokok. Tapi peringatan itu tak semenarik iklan rokok yang dibuat dengan bujet miliaran. Alih-alh bicara soal dampak kesehatan, iklan rokok memilih fokus bicara tentang kenikmatan merokok.

Kesadaran bahwa merokok berdampak pada kesehatan, digantikan oleh kesadaran bahwa rokok memberi kita kenikmatan, dan tidak menjadikan kita sekonyong-konyong sakit karena mengonsumsinya.

Lalu produsen menyodori kita berbatang-batang rokok sambil mengajak kita ngobrol ngalor ngidul tentang kecantikan perempuan, atau tentang keindahan alam.

Ada pula yang mengajak bercanda, bersenda gurau bak teman sejati, bahkan ada yang mengajak berkhayal tentang kemewahan. Begitulah iklan rokok mengubah narasi tentang rokok melalui iklan. Apakah itu kebohongan?

Iklan televisi dan kebohongan publik yang terstruktur

Selama ini iklan sering dituding sebagai bagian dari pembodohan masyarakat. Cukup bukti dan argumen yang bisa mendukung pernyataan itu. Tetapi berbagai pernyataan seperti ini hanya dianggap angin lalu, tak pernah mencapai aksi. 

Sementara wacana mengenai iklan pembodohan terus bergulir, lebih cepat lagi pertumbuhan iklan-iklan yang membodohi di layar televisi kita. Banyak aturan dilanggar dengan ‘dingin’. Dan, langka reaksi atau tanggapan serius dari pemerintah.

Di sisi lain, masyarakat sebagai penonton televisi menikmati iklan-iklan itu. Tak jarang slogan dalam iklan televisi menjadi meme kebidayaan baru. Jadi perbincangan serius ibu-ibu dalam acara arisan. Atau semacamnya.

Bahkan anak-anak balita sangat terhibur, sehingga menghentikan tangisnya ketika mendapati iklan di televisi. Tak sedikit ibu-ibu atau orang tua yang menjadikan televisi sebagai “pengasuh” anak-anak balita mereka.

Bentuk-bentuk kebohongan dalam iklan memang samar dan sulit sekali dibedakan dengan rayuan. Tapi sebenarnya kita semua tahu, mana pernyataan tulus dan mana rayuan gombal.

Sialnya adalah, kita semua masih suka terhanyut oleh rayuan gombal. Bak perawan desa yang masih polos dan lugu, publik dimanjakan oleh impian-impian kosong, yang melepaskan sejenak dari kepenatan hidup.

Lalu kriteria seperti apa yang dimaksud dengan iklan yang membohongi? Apakah orang-orang berduit yang memanfaatkan iklan sebagai ajang “pelurusan sejarah” masa lalunya bisa disebut berbohong juga?

Agak sulit memang menjelaskannya. Tapi dengan menganalogikan iklan sebagai pedagang obat keliling, dengan mudah kita bisa melihat bagaimana kebohongan disebarkan secara terstruktur. 

Kini tukang obat keliling sudah tidak semarak seperti di era 1980-an. Pada masa jayanya, tukang obat meyakinkan calon pembeli, dengan memperagakan keampuhan si produk melalui model. Kita semua mafhum bahwa model itu adalah ‘kroni-kroni’ si tukang obat.

Dengan sedikit akting, si model meyakinkan kerumunan bahwa obat yang dijual memang ampuh. Maka iklan bekerja dengan mekanisme yang lebih cerdik dan sempurna dari pada tukang obat. Gampangnya, iklan bisa menipu dengan lebih halus dan tak melanggar hukum.

Dalam iklan yang menyertakan testimonial (pengakuan) misalnya, ada aturan tentang durasi penggunaan sebelum seorang model dipakai dalam iklan testimonial. Si model haruslah seseorang yang sudah menggunakan produk atau jasa yang dimaksud dalam iklan, paling tidak selama satu tahun penuh, tanpa diselingi oleh produk atau jasa lainnya.

Banyak lagi persoalan seputar etika periklanan yang seharusnya menjadi panduan produksi iklan. Semacam kode etik periklanan telah lama diterbitkan, dan menjadi panduan moral bagi pembuat iklan. Apakah panduan ini diikuti, itu persoalan yan glain lagi.

Terdengar hebat, kan? Saat teknologi berkembang sangat pesat, begitu pula dengan cara-cara orang untuk berkomunikasi. Iklan televisi bisa menggantikan si tukang obat, meski dengan ongkos berlipat lebih mahal.

Iklan, yang sejatinya adalah sebuah komunikasi satu arah, dikemas sedemikian rupa sehingga tampak jauh lebih elegan. Dan kita merasa lebih terhormat dibohongi melalui televisi, dari pada dibohongi tukang obat.

Melek media, aksi melawan iklan pembodohan

Kritik terhadap iklan tidak berarti harus menghentikan atau memberangus kreativitas dunia periklanan. Tapi di lain pihak, harus ada pekerjaan yang dilakukan untuk memberdayakan masyarakat, agar tidak mudah tertipu dengan cara iklan berkomunikasi.

Kemampuan masyarakat awam (baca: low literate) pada umumnya bisa membedakan mana kenyataan dan imajinasi yang disajikan dalam iklan.

Tapi godaan yang ditawarkan dalam iklan sedemikian kuatnya, sehingga mereka sungguh-sungguh berharap dengan menggunakan produk tertentu, menjadi seperti apa yang dijanjikan iklan. Sikap ini berdampak pada perilaku instan, tak mengenal kerja keras, dan mengharapkan keajaiban datang dari langit.

Media televisi pada umumnya, memang sangat ampuh dalam mempengaruhi massa, saat kemampuan manusia menyerap informasi 60% dipengaruhi oleh indera penglihatannya (Dr. John Medina). Ditambah oleh kekuatan suara, dan kemudian dikemas dalam iklan, maka perpaduan ini sangat efektif menjangkau khalayak.

Nilai-nilai moral yang ditanamkan iklan televisi, tentu merepresentasikan kehendak para pemilik modal si pembuat iklan. Sementara televisi sangat tergantung pada para pemilik modal yang memasang iklan di televisi mereka. Maka tak salah kalau dominasi kaum pemilik modal ini dalam hal ini sangat besar.

Hanya pendidikan yang melakukan hal serupa, baik di rumah oleh orang tua, oleh para pemimpin agama di tempat peribadatan, maupun di sekolah-sekolah oleh para guru.

Pendidikan melek media menjadi penawar, yang bisa mengembalikan nilai sikap dan moral masyarakat kepada nilai-nilai yang dianggap “wajar”. Pendidikan seharusnya menjadi benteng yang mampu melawan hegemoni narasi yang ditawarkan iklan.

Iklan boleh berbuat apa saja, karena mereka punya hak untuk itu. Tetapi masyarakat seharusnya juga diberi kemampuan yang sepadan untuk mencerap iklan tersebut sebagaimana mestinya.

Pendidikan yang membebaskan, seperti yang diutarakan filsuf pendidikan asal Brasil, Paulo Freire, adalah sebuah proses pembebasan, bukan proses penjinakan sosial budaya (social and cultural domestication).

Konsep pendidikan kritis, di balik pendidikan melek media. Menggunakan kerangka fikir pendidikan kritis dalam implementasinya, struktur penindasan terhadap masyarakat harus dibongkar dan ditelanjangi. Termasuk muncul dari hegemoni nilai sikap dan moral oleh kaum elite.

Hanya pendidikan kritis yang mampu mencerahkan masyarakat tentang bagaimana kedudukannya dalam struktur kehidupan di alam nyata, dan menyadarkan adakah penindasan dalam hidup mereka. Bukan iklan yang seharusnya mendikte apa yang kita butuhkan, tetapi pemahaman terhadap diri dan kenyataan.

Pendidikan melek media menjadi sebuah aksi kebudayaan untuk melawan pembodohan yang coba digelorakan lewat iklan. Melek media, bukan mata pelajaran baru, melainkan sebuah metode yang dapat digunakan untuk berbagai macam pelajaran.

Dalam dunia yang penuh dengan iklan, melek media menjadi harapan membebaskan manusia dari belenggu ‘kebohongan’ berupa impian-impian yang menindas pemikiran mereka.

Posted via email from prajnamu’s posterous

Artikel lain sekategori:

4 Komentar untuk “Iklan Televisi dan Kebohongan Publik Terstruktur”

  1. Sumita Tobing

    Indonesia ketinggalan amat.Tahun 92, saya pernah mengikuti seminar di Manila, Filipina, bagaimana Media Education, telah diajarkan sejak Sekolah Dasar, SMP, SMA. Mata pelajaran Media Education di Sekolah Dasar, siswa diajarkan cara memfoto barang/objek jauh lebih indah dari kondisi sebenarnya, krn tehnik foto. Jadi, krn sejak SD sdh tau permainan foto, permainan kata2, para warga negara yg sdh ambil mata pelajaran ini, tau “membaca” gambar. Tukang iklan juga, tau, tidak mudah meng kibuli penonton, krn sejak SD, tehnik gambar dan suara dipelajari. Hebat ya, Filipina dah 14 thn lalu ngajarkan di SD, apa itu media.

  2. Guh

    Hehe, dulu (dan sampai sekarang) saya sering dapat pendidikan yang menjinakkan, bukan yang membebaskan. Btw, numpang tanya dong:

    1#
    “si model haruslah seseorang yang sudah menggunakan produk atau jasa yang dimaksud dalam iklan, paling tidak selama satu tahun penuh, tanpa diselingi oleh produk atau jasa lainnya.” <<— ini sumbernya aturan yang mana ya? Kok tidak disebutkan.

    2#
    "Pendidikan kritis" itu seperti apa? Gimana caranya?

  3. rahadian p. paramita

    Mengenai model testimonial, itu kutipan dari majalah Cakram Edisi Juli 2004, dan sekarang bunyinya di EPI memang sudah berubah. Tulisan ini sebenarnya memang sudah lama dibuatnya 😀 Tentang EPI bisa dilihat di sini: https://melekmedia.org/tatalaksana/etika-pariwara-indonesia/

    Soal pendidikan kritis, bisa panjang lebar ceritanya 😀 Intinya, pendidikan kritis yang dimaksud diambil dari gagasan filsuf pendidikan, Paulo Freire. Ia menyatakan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan pikiran pembelajar, bukan malah memberinya batasan-batasan. Pembelajar diajak melihat dirinya dan sistem yang berlaku di sekitarnya, dan menyadari hubungannya. Karena itu Freire sering menyebut gaya pendidikannya sebagai “hadap masalah” (problem posing) dan bukan gaya “bank” (menitip informasi di kepala pembelajar).

    Implementasinya, bisa dalam bentuk pendidikan melek media. Di artikel ini mungkin membantu: https://melekmedia.org/kajian/literasi-baru/apa-dan-mengapa-media-literacy-melekmedia/ dan https://melekmedia.org/kajian/literasi-baru/melek-media-dan-kewarganegaraan/

Trackbacks:
  1. Tweets that mention Iklan Televisi dan Kebohongan Publik yang Terstruktur | Media Literasi -- Topsy.com