
Kecerdasan Artifisial atau Akal Imitasi (AI) kini bukan lagi fiksi ilmiah, melainkan kenyataan yang harus dihadapi—siap maupun tidak. Saat ini Indonesia dinilai belum siap sepenuhnya, menyiratkan banyak pekerjaan rumah yang harus segera dibereskan.
Sebuah laporan komprehensif yang disusun UNESCO bekerja sama dengan berbagai pihak di Indonesia mengungkap gambaran kesiapan negara ini dalam menyambut era AI, lengkap dengan harapan besar, tantangan nyata, dan rekomendasi langkah ke depan.
Laporan ini merupakan hasil dari Metodologi Penilaian Kesiapan (Readiness Assessment Methodology-RAM) UNESCO, melibatkan lokakarya dan survei mendalam di Jakarta, Aceh, Balikpapan, dan Makassar, yang mewakili wilayah Indonesia Barat, Tengah, dan Timur.
Lebih dari 300 pemangku kepentingan dari berbagai sektor turut berpartisipasi — pemerintah, media, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil. Kegiatan berlangsung selama 2024 lalu.
Penelitian mencakup pengumpulan data demografis dan profesional, keterlibatan institusional dalam transformasi digital, memahami pandangan para pemangku kepentingan tentang AI, serta menilai adopsi talenta dan alat AI dalam organisasi mereka.
Sesi diskusi kelompok mendalam juga diadakan, termasuk latihan membayangkan masa depan (futuring exercise) untuk memetakan kekhawatiran penyalahgunaan AI, dan backcasting untuk mengidentifikasi harapan dan ekspektasi terhadap peran AI dalam pembangunan.
Kesimpulannya, Indonesia belum sepenuhnya siap, namun sedang dalam proses yang kuat dan menjanjikan menuju kesiapan. Ada potensi besar seperti optimisme tinggi, adopsi AI yang cepat di berbagai sektor, dan komitmen dalam transformasi digital.
Sementara tantangan yang harus segera diatasi di antaranya regulasi masih perlu diperinci, kesenjangan infrastruktur dan akses digital (terutama di daerah dan gender), investasi riset yang masih rendah, serta kebutuhan untuk meningkatkan pemahaman publik tentang risiko etis AI.
Jadi, bukannya “tidak siap sama sekali”, melainkan “belum siap sepenuhnya karena ada pekerjaan rumah untuk mencapai kesiapan yang optimal dan inklusif”. Tanpa aksi, potensi ini sia-sia belaka.
Fondasi Kuat dan Potensi Cerah Era AI di Indonesia
Indonesia memiliki landasan yang solid dan potensi besar untuk mengadopsi serta memanfaatkan AI demi kemajuan nasional. AI (generatif) menemukan tempatnya dalam operasional sehari-hari. Optimisme yang tinggi menjadi salah satu fondasi utama, hampir 70% responden survei menganggap AI sangat bermanfaat.
Adopsi AI di tingkat individu maupun institusi sudah menunjukkan kemajuan pesat: 86,4% karyawan telah aktif menggunakan perangkat AI pribadi, sementara 75,6% institusi juga telah mengintegrasikan teknologi ini, terutama untuk tugas-tugas seperti pembuatan konten, layanan pelanggan, dan dukungan pemasaran.
Potensi ini diperkuat oleh ekonomi digital Indonesia yang terus tumbuh, menjadikannya yang terbesar di Asia Tenggara. Investasi signifikan dalam ekosistem startup AI telah mendorong perusahaan-perusahaan raksasa, dari e-commerce seperti Tokopedia dan Traveloka hingga sektor finansial seperti BRI dan BCA, untuk memanfaatkan AI dalam mengoptimalkan bisnisnya.
Kehadiran penyedia layanan cloud internasional juga menjadi katalisator bagi transformasi digital. Dari sisi sumber daya manusia, kesiapan talenta AI menunjukkan tren positif. Program pemerintah seperti “Bangkit” telah membekali lebih dari 15.000 mahasiswa dengan kompetensi AI dan Machine Learning, serta ribuan pegawai negeri melalui Beasiswa Talenta Digital.
Institusi juga secara aktif merencanakan perekrutan spesialis AI dan investasi dalam pelatihan karyawan, menandakan pentingnya keahlian ini di masa depan.
AI dipandang sebagai alat utama untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, meningkatkan efisiensi operasional, bahkan memperkaya keterlibatan manusia di berbagai sektor seperti pendidikan dan layanan publik.
Tantangan Kritis yang Harus Diatasi
Di balik potensi besar, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan yang signifikan yang perlu segera ditangani untuk mencapai kesiapan AI yang optimal dan inklusif.
Salah satu area krusial adalah regulasi yang masih perlu diperkuat. Meskipun Indonesia telah memiliki Strategi Nasional AI dan undang-undang terkait data pribadi, regulasi khusus AI masih belum matang.
Prinsip-prinsip etis global seperti proporsionalitas, do no harm, dan pengawasan manusia belum terdefinisi eksplisit, menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas hukum jika terjadi kerugian akibat AI.
Ketiadaan mekanisme pelaporan yang jelas bagi penyedia AI dan partisipasi publik yang belum maksimal dalam perumusan kebijakan juga menjadi sorotan.
Kesenjangan digital menjadi tantangan besar lainnya. Laporan menyoroti disparitas akses internet antara wilayah perkotaan dan pedesaan, serta kesenjangan gender dalam penggunaan internet dan partisipasi di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika).
Kecepatan internet di Indonesia masih di bawah rata-rata global, meskipun memiliki banyak pusat data, distribusinya masih sangat terpusat di Jakarta. Kondisi ini berpotensi menghambat penyebaran manfaat AI secara merata ke seluruh lapisan masyarakat.
Di samping itu, investasi penelitian dan pengembangan (R&D) yang masih rendah (hanya 0,2% dari PDB) membatasi kemampuan Indonesia untuk berinovasi dan mengembangkan solusi AI yang relevan dengan konteks lokal, sehingga mengurangi daya saing global.
Kekhawatiran publik terhadap AI juga perlu perhatian serius. Kekhawatiran terbesar adalah “Dampak Ekonomi dan Sosio-Kultural”, khususnya potensi hilangnya pekerjaan akibat otomatisasi, yang sangat dominan di daerah regional di luar ibu kota.
Isu-isu lain termasuk keamanan siber (insiden ransomware yang menyerang pusat data nasional), risiko ketidakakuratan dan penyalahgunaan AI (misinformasi, manipulasi), serta pelanggaran hak dan privasi.
Meskipun kekhawatiran tentang bias dan diskriminasi AI relatif rendah di tengah keragaman etnis Indonesia, ini mengindikasikan perlunya peningkatan edukasi publik tentang bagaimana AI dapat memperkuat prasangka jika tidak dikelola dengan baik.
Rekomendasi untuk AI yang Etis dan Inklusif
Untuk memastikan Indonesia dapat memanfaatkan AI secara optimal dan etis demi mencapai visi “Indonesia Emas 2045”, laporan ini mengajukan sejumlah rekomendasi kunci.
Pertama, pemerintah perlu memperbarui standar dan strategi AI agar selaras dengan pedoman etika global UNESCO, dengan menekankan proporsionalitas, prinsip non-merugikan, dan pengawasan manusia.
Ini juga berarti memperluas “kotak pasir regulasi” (regulatory sandbox) untuk inovasi dan memperkuat undang-undang yang sudah ada guna mengatasi celah dalam perlindungan data dan informasi.
Kedua, pembentukan Badan Nasional AI yang kuat sangat penting untuk mengoordinasikan kebijakan, menetapkan standar, serta menyelaraskan upaya riset AI nasional, termasuk prioritas riset spesifik Indonesia seperti pelestarian budaya dan penanganan bencana.
Bersamaan dengan itu, pengembangan kapasitas yang inklusif menjadi krusial, memastikan akses yang adil dan merata terhadap pendidikan, sumber daya, dan infrastruktur AI di seluruh nusantara.
Upaya ini harus disertai dengan peningkatan literasi digital yang menggarisbawahi risiko bias dan diskriminasi AI, serta strategi proaktif untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya Indonesia dengan bantuan AI.
Terakhir, pemerintah harus secara aktif mempersiapkan tenaga kerja menghadapi disrupsi akibat AI dengan membantu pekerja meningkatkan keterampilan mereka.
Ini meliputi kerja sama dengan badan statistik untuk memahami dampak AI pada pekerjaan, menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang adaptif, dan memanfaatkan lembaga pelatihan vokasi, sekaligus insentif bagi pelaku industri untuk peningkatan keterampilan AI karyawan mereka.
Photo by Katja Anokhina on Unsplash
Komentar Anda?