
Kemampuan untuk memilah, memahami, dan mengevaluasi konten media kini makin krusial. Begitu kira-kira isi laporan terbaru dari Komite Komunikasi dan Digital Dewan Bangsawan Inggris, “Media Literacy: 3rd Report of Session 2024-25“.
Laporan tersebut secara tajam menyoroti urgensi literasi media, atau melek media, di era digital ini. Dokumen tersebut jadi sebuah peringatan keras tentang ancaman serius terhadap kohesi sosial dan demokrasi, serta kegagalan negara dalam memprioritaskannya.
Ancaman ini makin sulit dihadapi saat negara gagal membekali masyarakat dengan keterampilan melek media yang memadai. Apalagi lanskap media telah berubah drastis. Dulu, informasi didominasi oleh media tradisional yang memiliki proses editorial ketat.
Kini, media sosial dan platform digital jadi gerbang utama informasi bagi banyak orang. Laporan tersebut menemukan 71% orang dewasa di Inggris mengonsumsi berita daring, dan 52% di antaranya melalui media sosial.
Angka ini tak begitu jauh beda dengan kondisi Indonesia. Pada 2024, sekitar 60% populasi Indonesia dilaporkan mengakses berita melalui platform seperti WhatsApp, YouTube, Facebook, dan Instagram. Meski sedikit turun pada 2025, media sosial masih mendominasi.
Pergeseran tersebut, di Inggris maupun di Indonesia, akan membawa konsekuensi serius. Algoritma platform yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna seringkali menyajikan konten tanpa memandang kebenaran atau kualitasnya.
Publik kurang begitu paham bahwa jurnalistik bekerja dengan sistem verifikasi ketat, ruang redaksi yang diisi banyak orang. Saat berita resmi, opini pribadi, bahkan informasi yang dimanipulasi, muncul berdampingan di media sosial, audiens hanya melihat kemasan yang menarik, emosional.
Temuan dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa pengguna yang menemukan berita melalui media sosial, cenderung kurang mampu mengidentifikasi informasi faktual yang penting dan lebih tidak percaya pada institusi demokratis.
Ini adalah alarm bahaya bagi fondasi masyarakat yang demokratis.
Lebih mengkhawatirkan lagi, misinformasi dan disinformasi telah diidentifikasi oleh Forum Ekonomi Dunia sebagai risiko global jangka pendek teratas selama dua tahun berturut-turut. Ini bukan hanya soal kepercayaan, tetapi juga ancaman terhadap stabilitas sosial.
Realitas Melek Media di Inggris
Data yang disajikan dalam laporan tersebut sangat mencolok. Inggris, yang seharusnya menjadi pemimpin dalam inovasi digital, justru menempati peringkat ke-13 dari 41 negara dalam Indeks Literasi Media Eropa 2023, turun dari peringkat ke-11 pada 2022 dan ke-10 pada 2021.
Penurunan ini mengindikasikan bahwa upaya yang ada belum cukup untuk membekali warga negara dengan keterampilan yang diperlukan. Indikasinya tampak dari temuan bahwa satu dari empat orang dewasa di Inggris merasa sulit membedakan informasi yang benar dan salah.
Yang lebih mengejutkan, hanya 45% orang dewasa yang merasa yakin dalam menilai kebenaran sumber online, dan hanya 30% yang yakin dapat mengenali konten yang dibuat oleh kecerdasan buatan (AI).
Angka-angka ini menunjukkan kesenjangan signifikan antara persepsi diri dan kemampuan aktual. Banyak orang dewasa melebih-lebihkan keterampilan literasi media mereka, padahal kenyataannya mereka rentan terhadap informasi yang menyesatkan.
Laporan ini juga menegaskan bahwa hampir separuh orang dewasa di Inggris pengguna media sosial, menyatakan pernah menemukan berita menyesatkan atau tidak benar, sepanajng tahun ini.
Ini menggarisbawahi betapa meresahkannya misinformasi di antara orang-orang dalam populasi, selama mereka mengonsumsi media dalam kehidupan sehari-hari.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Laporan ini mengidentifikasi beberapa tantangan utama yang menghambat peningkatan literasi media:
- Fragmentasi Upaya Pemerintah: Inisiatif yang ada tersebar di berbagai departemen tanpa koordinasi yang jelas dan visi jangka panjang.
- Keterbatasan Peran Ofcom: Meskipun Ofcom telah melakukan pekerjaan yang berharga, cakupan dan sumber dayanya terbatas untuk mengimplementasikan program literasi media berskala nasional. (Ofcom adalah badan yang mengawasi dan mengatur berbagai aspek media dan komunikasi di Inggris)
- Kurikulum Pendidikan yang Tidak Memadai: Literasi media tidak tertanam secara sistematis dalam kurikulum sekolah, seringkali hanya diajarkan secara sporadis atau sebagai mata pelajaran opsional.
- Kurangnya Pelatihan Guru: Banyak guru merasa tidak siap atau tidak percaya diri untuk mengajarkan literasi media, terutama dalam menghadapi teknologi yang berkembang pesat seperti AI.
- Keterlibatan Orang Dewasa yang Sulit: Orang dewasa sibuk, kurang menyadari pentingnya literasi media, dan seringkali melebih-lebihkan keterampilan mereka sendiri.
- Kurangnya Tanggung Jawab Platform Teknologi: Platform digital tidak memiliki kewajiban formal untuk mempromosikan literasi media, dan upaya sukarela mereka seringkali kurang transparan atau tidak efektif.
Untuk mengatasi tantangan ini, dalam laporan tersebut House of Lords Communications and Digital Committee (Komite Komunikasi dan Digital Dewan Bangsawan) mengajukan rekomendasi yang jelas dan mendesak, dengan fokus pada tiga area prioritas:
- Integrasi Literasi Media dalam Kurikulum Nasional: Literasi media harus menjadi bagian integral dari pendidikan, dimulai dari usia dini, dan dimasukkan dalam pelatihan guru. Pemerintah Inggris didesak untuk menanamkan literasi media di seluruh kurikulum nasional dan memperbarui program pelatihan guru.
- Pajak pada Perusahaan Teknologi: Perusahaan teknologi harus berkontribusi secara finansial untuk mendanai inisiatif literasi media yang independen dan berkelanjutan. Pemerintah harus menuntut lebih banyak dari platform digital untuk bertanggung jawab atas dampak mereka.
- Kepemimpinan Pemerintah yang Kuat: Pemerintah harus menunjuk seorang menteri senior khusus untuk mengoordinasikan upaya literasi media di seluruh departemen. Laporan ini secara eksplisit meminta pemerintah untuk memprioritaskan literasi media di seluruh sektor pemerintahan.
Selain itu, perlu kampanye kesadaran publik yang berkelanjutan. Kampanye yang jelas dan terarah diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melek media, didukung oleh sumber daya yang mudah diakses dan dukungan lokal.
Rekomendasi ini sepertinya menarik untuk dilirik Indonesia. Selama ini, potret kemampuan melek media di kalangan warga di Indonesia kurang begitu jelas. Bila Inggris saja, yang notebene negara maju, kondisi warganya sedemikain mengkhawatirkan, bagaimana dengan kita?
Melek media bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, melainkan perisai esensial bagi masyarakat di era banjir informasi ini. Tanpa melek media yang kuat, kita berisiko terombang-ambing dalam lautan misinformasi, mengikis kepercayaan, dan membahayakan fondasi demokrasi kita.
Sudah saatnya pemerintah, industri, pendidik, dan masyarakat bersatu untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas, kritis, dan tangguh di hadapan tantangan digital. Pemerintah Inggris kini memiliki waktu dua bulan untuk menanggapi laporan penting ini.
*Photo by Ehimetalor Akhere Unuabona vis Unsplash
Komentar Anda?