
MPLS tahun ini mungkin sudah ramah, tapi belum benar-benar aman. Surat edaran terkait kegiatan perdana masuk sekolah pada tahun ajaran 2025/2026 ini, baru menjamin MPLS yang ramah, belum menjamin keamanan anak di ruang digital. Kita butuh MPLS Ramah dan Aman.
Surat Edaran Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Satuan Pendidikan Ramah (MPLS Ramah) adalah inisiatif yang patut diapresiasi.
Dengan fokus “memuliakan murid, menghormati hak anak, dan menjunjung tinggi nilai karakter,” kebijakan ini berupaya menciptakan lingkungan adaptasi yang positif dan bebas perpeloncoan bagi peserta didik baru.
Salah satu poin penting yang disinggung adalah “penumbuhan keadaban digital.” Namun, apakah poin ini sudah cukup untuk menjamin keamanan, keselamatan, dan privasi anak di ranah digital yang semakin kompleks?
MPLS tahun ajaran 2025/2026 dimulai secara serentak per Senin (14/7/2025). Tahun sebelumnya, para siswa baru ada yang diminta meramaikan MPLS dengan mengunggah Twibbon di media sosial. Twibbon adalah bingkai digital yang berisi tulisan, desain, atau gambar tertentu.
Pengguna dapat mengedit Twibbon dan memasukkan foto mereka ke dalamnya. Desainnya yang menarik membuat Twibbon banyak digunakan oleh siswa dan instansi sekolah sebagai alat promosi. Tahun lalu, isu ini sempat jadi kontroversi di media sosial.
Meski begitu, tren tersebut sepertinya belum akan berhenti. Tak terdengar kebijakan apapun yang menyoroti polemik pemasangan Twibbon ke foto profil siswa. Media pun masih ikut menunggang isu tersebut dengan artikel-artikel tips tanpa mengingatkan risikonya.
Belum lagi penggunaan media sosial untuk perpesanan, misalnya WhatsApp atau aplikasi sejenis. Grup-grup dibuat untuk “berkoordinasi dan sosialisasi”. Tapi tak jarang grup WA tersebut berisi perundungan. Ingat, perundungan di ruang digital juga tak kalah berbahaya.
Kita bisa bandingkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak, atau yang dikenal sebagai PP TUNAS. Dengan semangat yang sama, harusnya SE MPLS itu bisa seiring-sejalan.
PP ini digadang sebagai upaya menyelaraskan diri dengan standar internasional, khususnya dalam mengedepankan “kepentingan terbaik bagi Anak” dan privasi secara default. Mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, meski konteks PP itu di ranah komersial.
Potensi Risiko Digital Meski MPLS Ramah
Surat edaran Menteri Pendidikan ini secara eksplisit melarang aktivitas yang mengarah pada kekerasan, perpeloncoan, dan penggunaan atribut yang tidak edukatif. Ini adalah langkah krusial untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman.
Namun, ketika berbicara tentang ranah digital, cakupan perlindungan yang diberikan terasa masih perlu diperluas, terutama jika dibandingkan dengan detail yang diatur dalam PP TUNAS.
1. Keadaban Digital vs. Keamanan Digital dalam MPLS Ramah
Dokumen SE menyebut “menumbuhkan keadaban digital,” yang umumnya merujuk pada etika dan perilaku yang baik saat berinteraksi di dunia maya. Tema ini bagian dari Pencegahan Penyimpangan Isu Sosial, yang juga meliputi penyalahgunaan NAPZA atau judi online.
Meskipun penting, keadaban digital tidak secara langsung mencakup aspek teknis dan prosedural keamanan siber atau perlindungan data pribadi yang lebih rinci. Materi lebih menyasar perilaku anak yang terkait dengan dunia nyata, seperti pornografi dan perkawinan anak.
Anak-anak mungkin diajarkan untuk tidak melakukan perundungan siber (cyberbullying) atau menyebarkan hoaks, tetapi mereka belum dibekali pengetahuan yang memadai tentang aspek keamanan di ruang digital sebagaimana diatur dalam PP TUNAS:
- Phishing dan Penipuan Online: Bagaimana mengenali tautan atau pesan berbahaya yang bisa mencuri data pribadi.
- Malware dan Virus: Risiko mengunduh aplikasi atau membuka lampiran yang tidak dikenal.
- Pengaturan Privasi Akun: Pentingnya mengatur privasi di media sosial atau platform lain untuk membatasi siapa yang bisa melihat informasi mereka.
PP TUNAS, sebagai regulasi yang lebih spesifik, mengatur kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menerapkan pengamanan teknis yang dapat memitigasi risiko paparan konten negatif dan menjamin langkah yang efektif bagi orang tua untuk melakukan pengawasan.
Namun, Surat Edaran MPLS Ramah belum secara eksplisit mengintegrasikan atau merujuk pada standar keamanan digital yang lebih tinggi yang diwajibkan oleh PP TUNAS ini. Tentu saja sesuai konteks, menyadarkan anak tentang adanya konten negatif serta bahayanya.
2. MPLS Ramah Belum Atur Pengumpulan Data Pribadi dan Privasi
Pada Tahap Perencanaan menyebutkan “pengisian formulir identitas murid baru dan orang tua/walinya.” Formulir ini seringkali menjadi pintu gerbang pertama pengumpulan data pribadi anak di sekolah, termasuk saat MPLS.
Meskipun ini adalah prosedur standar, surat edaran tidak merinci bagaimana data tersebut akan disimpan, diakses, dan dilindungi dari potensi kebocoran atau penyalahgunaan.
Data pribadi anak-anak, bahkan yang terlihat sepele seperti nama lengkap, tanggal lahir, atau alamat, bisa menjadi target bagi pihak tidak bertanggung jawab. Pertanyaan-pertanyaan krusial yang muncul antara lain:
- Siapa yang memiliki akses ke data digital ini?
- Bagaimana data ini dienkripsi atau dilindungi dari peretasan?
- Berapa lama data ini akan disimpan dan bagaimana prosedur penghapusannya?
- Apakah ada kebijakan yang jelas mengenai pembagian data ini dengan pihak ketiga (misalnya, penyedia platform pembelajaran)?
Kasus kebocoran data di SMK Negeri 3 Magelang pada Oktober 2024 menjadi contoh nyata betapa rentannya data pribadi di lingkungan pendidikan. Data pribadi 1.330 individu, termasuk siswa, dilaporkan bocor ke publik.
Insiden ini menunjukkan bahwa data yang dikumpulkan sekolah, termasuk yang mungkin berasal dari proses pendaftaran atau MPLS, sangat rentan bila tanpa protokol keamanan yang ketat. Meski pihak sekolah tidak bernegosiasi dengan pelaku, keputusan ini berujung pada tersebarnya data tersebut.
Kasus semacam ini menggarisbawahi urgensi perlindungan data yang lebih serius, tidak hanya dari sisi teknis tetapi juga dari sisi kebijakan dan kesadaran seluruh pihak di sekolah, agar data yang dikumpulkan sejak awal masuk sekolah (termasuk saat MPLS) benar-benar aman.
PP TUNAS secara tegas melarang profiling anak untuk tujuan komersial dan menekankan pentingnya persetujuan orang tua untuk anak di bawah 18 tahun dalam mengakses layanan digital. Sekolah seperti juga platform yang mengumpulkan data sebaiknya merujuk standar PP TUNAS, agar tak menimbulkan kekhawatiran akan potensi celah privasi.
3. Pengawasan Kegiatan Digital Selama MPLS Ramah
MPLS Ramah menekankan pengawasan guru terhadap seluruh kegiatan. Namun, bagaimana dengan aktivitas digital yang mungkin dilakukan anak-anak, terutama jika MPLS melibatkan penggunaan perangkat pribadi atau platform online? Surat edaran tidak secara spesifik membahas:
- Penggunaan Gawai/Perangkat Digital: Apakah ada panduan jelas mengenai penggunaan gawai selama MPLS, terutama jika ada kegiatan yang mengharuskan anak mengakses internet?
- Interaksi di Platform Online: Jika ada grup komunikasi atau platform kolaborasi online yang digunakan selama MPLS, bagaimana interaksi di dalamnya diawasi untuk mencegah perundungan siber atau penyebaran konten tidak pantas?
- Izin Orang Tua untuk Aktivitas Digital: Apakah ada mekanisme persetujuan orang tua yang spesifik untuk partisipasi anak dalam kegiatan digital yang mungkin mengumpulkan data atau melibatkan interaksi online?
Pada beberapa kesempatan, meskipun tidak selalu berujung pada kasus hukum besar, seringkali muncul keluhan orang tua atau laporan di media sosial mengenai pemaksaan anak untuk mengunggah foto dengan Twibbon atau atribut MPLS ke akun media sosial pribadi mereka.
Terkadang, instruksi ini datang dengan kewajiban menyertakan tagar tertentu, nama sekolah, atau bahkan menyebutkan nama lengkap dan kelas. Praktik ini, sekilas terlihat sepele, adalah ancaman terhadap privasi anak.
Informasi yang diunggah, bahkan hanya foto dengan Twibbon, dapat dengan mudah dikumpulkan (di-scraping) pihak tak bertanggung jawab. Data ini bisa digunakan untuk profiling anak, menargetkan mereka dengan iklan, atau bahkan lebih parah, menjadi pintu masuk bagi predator daring.
Pemaksaan semacam ini juga mengabaikan hak anak untuk memutuskan apa yang ingin mereka bagikan di ruang publik digital, serta hak privasi data. Seringkali, berkedok proses yang harus dijalani, orang tua pun tak berdaya.
PP TUNAS mengatur klasifikasi akses media sosial berdasarkan usia dan tingkat risiko, serta mewajibkan izin orang tua untuk anak di bawah usia tertentu. Apabila orang tua keberatan, tidak boleh ada konsekuensi.
Ini menunjukkan bahwa pengawasan digital memerlukan pendekatan yang lebih terstruktur dan spesifik, yang belum terlihat jelas dalam panduan MPLS Ramah.
4. Keterlibatan Platform Digital Pihak Ketiga dalam MPLS Ramah
Meskipun tidak disebutkan secara langsung, pelaksanaan MPLS di era modern seringkali melibatkan penggunaan aplikasi atau platform digital, baik untuk pendaftaran, komunikasi, atau kegiatan interaktif.
Jika sekolah menggunakan platform pihak ketiga, surat edaran ini tidak secara eksplisit mewajibkan adanya due diligence terhadap kebijakan privasi dan keamanan data dari penyedia platform tersebut.
Ini membuka celah bagi risiko privasi yang tidak disadari, padahal PP TUNAS menargetkan PSE untuk bertanggung jawab atas perlindungan anak di platform mereka.
Rekomendasi MPLS Ramah dan Aman di Ruang Digital
Untuk benar-benar menjamin keamanan, keselamatan, dan privasi anak di ranah digital selama dan setelah MPLS, beberapa aspek perlu diperkuat dalam kebijakan atau panduan pelaksanaannya, dengan mengacu pada semangat dan ketentuan PP TUNAS:
Implementasi Keamanan Digital yang Lebih Komprehensif
“Keadaban digital” perlu diperluas menjadi “keamanan dan privasi digital” yang mencakup edukasi tentang risiko siber, cara melindungi data pribadi, dan penggunaan internet yang aman. Ini harus menjadi materi wajib dengan simulasi atau praktik langsung, selaras dengan tujuan PP TUNAS untuk menciptakan ruang digital yang aman.
Perlindungan Data Pribadi Sesuai PP TUNAS
Harus ada panduan rinci mengenai pengumpulan, penyimpanan, akses, dan penghapusan data pribadi anak, sesuai dengan undang-undang perlindungan data yang berlaku.
Dalam PP TUNAS juga ada prinsip-prinsip yang melarang profiling komersial dan mewajibkan izin orang tua. Ini termasuk transparansi kepada orang tua mengenai tujuan penggunaan data dan siapa saja yang memiliki akses.
Kebijakan Penggunaan Gawai dan Platform Online
Sekolah perlu memiliki kebijakan yang jelas tentang penggunaan gawai dan platform online selama MPLS, termasuk batasan waktu layar, jenis aplikasi yang diizinkan, dan mekanisme pengawasan yang tidak invasif, dengan mempertimbangkan klasifikasi usia dan risiko yang diatur dalam PP TUNAS.
Ini juga harus mencakup larangan tegas terhadap pemaksaan anak untuk mengunggah konten pribadi ke media sosial sebagai bagian dari kegiatan sekolah, termasuk MPLS, tanpa persetujuan eksplisit dan pemahaman penuh dari anak dan orang tua mengenai risiko privasi.
Edukasi Berkelanjutan untuk Semua Pihak
Tidak hanya murid, guru dan orang tua juga perlu diberikan pelatihan dan pemahaman mendalam tentang keamanan dan privasi digital, termasuk isi dan implikasi PP TUNAS. Guru sebagai pendamping harus mampu mengidentifikasi dan menangani potensi risiko digital.
Mekanisme Pelaporan Insiden Digital yang Jelas
Selain saluran pengaduan umum, perlu ada mekanisme spesifik untuk melaporkan insiden terkait keamanan dan privasi digital, seperti peretasan akun, perundungan siber, atau penyalahgunaan data, yang dapat terhubung dengan mekanisme pelaporan yang diatur dalam PP TUNAS.
MPLS Ramah adalah fondasi yang baik untuk menciptakan lingkungan sekolah yang positif. Untuk menghadapi tantangan era digital, perlindungan anak tidak bisa lagi hanya berfokus pada ranah fisik. Sudah saatnya aspek keamanan digital dijadikan standar umum.
Keamanan, keselamatan, dan privasi anak di dunia maya harus menjadi prioritas yang terintegrasi dan terperinci dalam setiap kebijakan pendidikan (dan pada sektor lainnya), dengan memanfaatkan kerangka hukum yang sudah ada seperti PP TUNAS.
Materi untuk belajar tentang keamanan di ruang digital banyak tersedia, untuk luring maupun daring. Situs ini menyediakan materi belajar daring lewat LMS berjudul Menjadi Warganet Keren, di dalamnya memuat materi yang relevan seperti Hati-hati Saat Berbagi dan Amankan Data Pribadi.
Tanpa langkah-langkah konkret dalam aspek digital, “ramah” saja mungkin belum cukup untuk melindungi anak-anak dari ancaman yang tak terlihat.
*Photo by WALI AHMAD FIRDAUS on Unsplash