Apa yang Anda lakukan menghadapi komentar negatif di media sosial? Fitur pin komentar seperti yang ada di Instagram, jelas tak direkomendasikan untuk merespons komentar seperti itu.
Semisal Anda mendapat komentar negatif nan menyakitkan di Instagram, Anda bisa saja mengabaikannya, membalas komentar itu, atau melaporkannya ke Instagram bila sudah kelewatan.
Bila Anda mengabaikannya, kemungkinan masalah akan selesai sampai di situ saja—meskipun ada kemungkinan si pembuat komentar terus-menerus meneror Anda. Laporkan ke Instagram bila itu terjadi.
Bila Anda balas komentar itu, hasilnya tergantung cara Anda membalas. Bila balasan positif, mungkin insiden tak akan tambah besar. Bila balasan tak kalah sengit, siaplah dengan konsekuensi lanjutannya.
Melaporkan komentar yang sudah kelewatan mungkin pilihan terbaik. Biarkan Instagram yang menindak perilaku yang tak sesuai dengan aturan yang berlaku di platform tersebut. Meski, tak menjamin reaksi Instagram akan cepat dan tepat pada waktunya.
Sekarang coba bayangkan apa yang terjadi dalam kasus Ridwan Kamil, vs. guru asal Cirebon yang berkomentar negatif di akun Instagram Gubernur Jawa Barat itu.
Seorang guru honorer asal Cirebon, Muhammad Sabil Fadilah, dipecat dari sekolah tempatnya mengajar usai melontarkan kritik pada salah satu unggahan akun Instagram Ridwan Kamil.
Kasus berawal dari unggahan Ridwan Kamil berisi panggilan video dengan 3 siswa SMPN Tasikmalaya. Dalam tatap maya itu Emil menyampaikan apresiasi atas semangat kemanusiaan yang ditunjukkan.
Kiriman itupun menuai respons beragam dari pengikutnya di Instagram. Salah satunya dari Muhammad Sabil Fadilah, yang mempertanyakan jas kuning Emil dalam acara tatap maya itu.
“maneh teh keur jadi gubernur jabar ato kader partai ato pribadi @ridwankamil???” demikian tulis Sabil, menanggapi kiriman Emil per Senin, 13/3/2023 tersebut.
Sabil mempertanyakan kapasitas Emil saat melakukan tatap maya dengan mengenakan jas kuning, apakah sebagai Gubernur Jabar atau kader partai berwarna khas kuning (Golkar).
Akun Emil rupanya membalas komentar itu dengan pertanyaan bernada menantang: ”Ceuk maneh kumaha?” (menurut kamu bagaimana?).
Selain membalas, akun Instagram dengan 20 juta lebih pengikut itu menyematkan komentar Sabil jadi yang teratas dalam kirimannya.
Tak ayal, puluhan juta pengikut Emil yang melihat kiriman itu akan mudah melihat pertanyaan Sabil. Dan tak perlu menunggu lama, komentar itupun menuai balasan dari akun lain.
Di luar drama itu, tersebarlah tangkapan layar yang memperlihatkan Kang Emil meneruskan komentar dari Sabil melalui Direct Message (DM) Instagram ke akun SMK Telkom Sekar Kemuning, tempat Sabil mengajar.
Lalu berita pun bergulir cepat. Sabil dipecat dari tempatnya mengajar. Polemik pun makin menjadi, karena pemecatan ini dinilai tidak proporsional—bila hanya karena komentar di Instagram.
Pemecatan sudah telanjur terjadi, meski Ridwan Kamil mengklarifikasi tidak pernah meminta sekolah memecat Sabil. Ia hanya minta Sabil “dinasehati”.
Sabil belakangan menyatakan menolak saat ditawari kembali mengajar karena merasa tak enak nama sekolah ikut terlibat dalam kasusnya.
Apa yang dilakukan pemegang akun Emil saat itu, membalas seolah menantang sambil memajang komentar Sabil di bagian teratas kiriman, patut dipertanyakan.
Fitur yang digunakan itu adalah fitur yang dirilis pada 2020 untuk menghadapi bullying atau serangan di linimasa akun Instagram. Demikian pengumuman platform milik Meta itu.
Seperti yang diumumkan akun Vishal Shah di Twitter 3 tahun silam, fitur menambatkan komentar di kiriman sehingga mendapat perhatian pengikut, dimaksudkan untuk mengubah nada percakapan. Perhatikan petunjuk pada gambar yang dikirim Vishal. Sarannya adalah “Pin your favourite comments“, atau mengajak pengguna untuk menambatkan komentar terfavorit.
Instagram merekomendasikan pengguna untuk menyoroti komentar positif, terfavorit, agar mengurangi nuansa negatif yang muncul akibat caci-maki atau sejenisnya yang membanjiri kolom komentar.
“Dengan menyorot komentar positif, Anda dapat mengelola nada komentar dengan lebih baik,” demikian penjelasan Vishal. Maksudnya jelas, komentar positif dapat memberi nuansa lebih baik terhadap kiriman dimaksud.
Penjelasan lebih detail juga bisa dapat dilihat di laman bantuan Instagram. Pada bagian “Tentang Melindungi Bisnis anda di Instagram“, dapat ditemukan penjelasan tentang fitur ini.
Di sana dijelaskan pengguna memiliki akses ke fitur yang bisa melindungi bisnis dari penyalahgunaan, perundungan (bullying), spam, komentar yang tidak pantas, dan bahasa yang mengganggu. Tujuannya menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi bisnis untuk tumbuh dan mengembangkan eksistensinya di Instagram.
Laman itupun menyarankan beberapa contoh fitur yang bisa digunakan untuk mengontrol cara orang berinteraksi dengan akun bisnis di Instagram. Di antara fitur dimaksud adalah:
“Komentar yang Disematkan: Anda bisa menyematkan komentar positif agar muncul di bagian paling atas postingan Anda dengan menggeser komentar ke kiri dan mengetuk ikon sematkan.”
Jadi jelas, tujuan awal dibuatnya fitur untuk menyematkan komentar di bagian teratas pada kiriman, adalah untuk “melindungi diri”. Apabila mengalami hal-hal negatif seperti perundungan atau sejenisnya, pengguna disarankan melapor ke Instagram, dan tim peninjauan akan mengevaluasi laporan.
Menyematkan komentar di bagian teratas pada kiriman, jelas bukan langkah untuk melindungi diri apalagi mengedukasi. Komentar Sabil itu tak layak disebut favorit, apalagi positif.
Secara harfiah favorit mengandung makna terbaik, dijagokan, diunggulkan untuk menjadi juara—bahkan bisa bermakna kesayangan atau kegemaran.
Komentar itu lebih memenuhi kriteria pertanyaan kritis, dan pedas—disampaikan dengan cara yang lumayan keras pula. Keras, karena menurut tata bahasa Sunda pilihan kata Sabil terbilang kasar.
Lalu mengapa malah disematkan seolah menjadi komentar terfavorit, dengan balasan menantang pula?
Kepada media, Ridwan Kamil mengaku melakukan itu untuk mengedukasi pengikutnya.
“… kalau saya nge-pin, itu saya sedang mengedukasi kepada orang-orang yang kadang komennya enggak pakai fakta. Saya klarifikasi, sebenarnya itu,” kata dia kepada Kompas.com.
Entah apa maksud Emil. Dalam contoh kasus Sabil, akunnya sama sekali tak menyatakan layak atau tidaknya sebuah komentar, atau mengimbau agar tidak ditiru akun lain. Balasannya justru bernada menantang.
Alih-alih mengedukasi, ia seperti menempatkan Sabil dalam posisi “sasaran tembak”—terutama oleh siapa saja yang menjadi pendukung berat Emil. Itulah yang terjadi pada Sabil, dan akun lain bernasib serupa.
Setelah kasus Sabil mencuat, bermunculan pengakuan dari akun-akun lain yang pernah merasakan dampak akibat disematkan komentarnya. Jadi, ini bukan aksi pertama dari akun gubernur itu.
Menempatkan komentar negatif pada tempat yang mudah dilihat pendukungnya, seperti fenomena menempatkan eksekusi terpidana mati di alun-alun. Praktik yang lazim berlaku pada zaman kolonial.
Salah satu pemanfaatan kawasan alun-alun sejak dulu adalah tempat eksekusi hukuman mati. Hukuman mati dilaksanakan di ruang publik agar disaksikan orang banyak, sehingga menimbulkan efek jera dan agar tidak ada yang berani berbuat hal yang sama.
Apakah itu yang dimaksud Ridwan Kamil dengan mengedukasi pengikutnya via “menggantung” komentar negatif di Instagram?
*Photo by Balint Mendlik on Unsplash