Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Titik Balik Menuju Jurnalisme Baru

Titik Balik Menuju Jurnalisme Baru

Oleh: Melekmedia -- 24 Oktober, 2025 
Tentang: ,  –  Komentar Anda?

black condenser microphone

Riset terbaru menyebut integrasi AI dalam jurnalisme bukan sekadar tren teknologi, melainkan momen transformatif yang memaksa industri media mendefinisikan ulang identitas, relasi dengan audiens, dan masa depan demokrasi

Selama tiga dekade, narasi jurnalisme dan teknologi digital adalah kisah akselerasi “roda hamster” (hamster wheel): tuntutan untuk menghasilkan lebih banyak berita, hadir di lebih banyak platform, menjangkau audiens lebih beragam.

Kini, dengan pendapatan dan sumber daya yang terus menyusut di era pertengahan 2020-an, kemunculan AI generatif yang disruptif menawarkan momen konstitutif, bahkan “titik puncak” (breaking point) bagi jurnalisme.

Sebuah riset yang dipublikasikan dalam jurnal Journalism (2025) oleh Tomás Dodds (Leiden University & Harvard University), Rodrigo Zamith (University of Massachusetts Amherst), dan Seth C Lewis (University of Oregon) menyebut fenomena ini sebagai “AI turn“.

Apa itu? Sebuah pergeseran fundamental yang memaksa jurnalisme memikirkan kembali identitasnya dan hubungannya dengan audiens. Semacam “titik balik”, membebaskan jurnalis untuk kembali fokus pada aktivitas yang paling dihargai.

Apa Itu “Turn” dalam Jurnalisme?

Dalam dunia akademik dan profesional, istilah “turn” menandai pergeseran fokus, paradigma, atau metodologi yang didorong oleh perubahan sosial luas atau lompatan teknologi. Dalam studi jurnalisme, berbagai “turn” sebelumnya telah menandai momen transformatif:

1. Emotional Turn – Menantang kepercayaan bahwa jurnalisme adalah usaha rasional semata, menekankan bahwa emosi memainkan peran sentral dalam produksi, konsumsi, dan pemahaman berita modern.

2. Data Turn – Didorong oleh kebangkitan jurnalisme berbasis komputasi dan teori rakyat tentang rasionalitas data yang “tak bias”, memberikan bobot baru pada analisis data, visualisasi, dan narasi berbasis bukti.

3. Audience Turn – Menempatkan publik dan ‘pengguna’ di pusat proses jurnalistik, didukung oleh bukti bahwa profesional semakin berusaha memahami perilaku, preferensi, dan interaksi audiens.

Dodds dkk. menegaskan “AI turn” bukan sekadar gangguan sementara. Seperti pergeseran sebelumnya, AI turn berpotensi menjadi bagian permanen dari praktik jurnalistik—pada awalnya memicu ketegangan dan perdebatan, namun akhirnya terintegrasi menjadi komponen alami profesi.

Skala Adopsi AI di Ruang Redaksi Global

Data menunjukkan AI bukan lagi masa depan jurnalisme—ia adalah bagian dari masa kini yang rumit:

  • 73,8% jurnalis dan pekerja media di enam benua menyatakan mereka atau organisasinya telah menggunakan AI generatif dalam beberapa kapasitas (Diakopoulos et al., 2024);
  • Aplikasi paling umum: produksi konten berbasis teks, pengumpulan informasi, aplikasi bisnis, dan koding;
  • 87% manajer redaksi sepakat bahwa AI generatif telah mengubah cara operasional ruang redaksi mereka, baik sepenuhnya maupun sebagian;
  • 78% eksekutif media mengatakan investasi dalam teknologi AI akan menjadi kunci kelangsungan hidup jurnalisme.

Berdasarkan survei Reuters Institute (2025) di 51 negara, penggunaan AI paling populer untuk:

  1. Otomasi back-end dan rekomendasi personal
  2. Kreasi konten (dengan supervisi manusia)
  3. Pengumpulan berita dan riset
  4. Aplikasi komersial

Empat Pilar “AI Turn” dalam Jurnalisme

Dodds, Zamith, dan Lewis dalam tulisannya yang berjudul “The AI turn in journalism: Disruption, adaptation, and democratic futures“, mengidentifikasi empat orientasi kunci untuk memahami implikasi AI turn:

1. Antara Peluang Transformatif dan Ekspektasi Berlebihan

AI dalam jurnalisme sudah jauh lebih baik sekaligus lebih buruk secara bersamaan. Namun, fokus hingga kini cenderung pada kemampuan AI menggantikan jurnalis atau mengotomasi proses yang ada.

Yang sering terlewatkan adalah potensi transformatif AI untuk merekonfigurasi peran, rutinitas, relasi kekuasaan, dan pengalaman berita—dengan konsekuensi lebih luas untuk ideal rasional-deliberatif dan pembangunan konsensus yang biasa dikaitkan dengan ruang publik demokratis.

Sementara realitas di lapangan menunjukkan:

  • AI efektif dalam merampingkan tugas repetitif seperti transkripsi, terjemahan, dan riset arsip
  • AI membantu jurnalis memperluas jangkauan lintas bahasa dan format
  • AI menyediakan alat untuk mendeteksi bias atau meningkatkan keragaman dalam pekerjaan jurnalistik

Contoh konkret: iTromsø, media lokal Norwegia, membangun asisten AI bernama DJINN untuk memantau dokumen pemerintah kota. Yang dulunya butuh berjam-jam untuk memeriksa dokumen dewan, kini DJINN melakukan pemindaian awal dan menandai item paling relevan.

Dalam minggu pertama penggunaan, dua jurnalis magang yang bekerja dengan DJINN berhasil menghasilkan lima berita halaman depan.

“AI adalah ‘roda hamster’ yang membebaskan jurnalis untuk kembali fokus pada aktivitas yang paling dihargai: investigasi mendalam, peliputan di lapangan, dan kegiatan jurnalistik inti lainnya yang semakin terpinggirkan.”

2. Ancaman Model Bisnis dan Dominasi Platform

AI turn mengancam model bisnis yang mendasari jurnalisme di banyak negara dan memperkuat ketergantungan pada perusahaan teknologi yang menyediakan infrastruktur.

Kita masih berhadapan dengan sentralisasi kekuasaan, misalnya organisasi jurnalisme besar yang memiliki daya tawar karena skalanya; Perantara non-jurnalistik yang posisinya dalam jaringan informasi memaksa ketergantungan yang terus tumbuh.

Contoh konkret: Adopsi AI Google untuk meringkas hasil pencarian kemungkinan akan mengurangi lalu lintas rujukan secara signifikan. Seiring waktu, ringkasan tersebut akan memuaskan cukup banyak pengguna sehingga mereka tidak mengklik sumber asli.

Ini tidak hanya membahayakan model bisnis berbasis iklan tetapi juga mengurangi nilai merek banyak organisasi. Fenomena AI Overview Google belakangan sedang kencang dibicarakan di kalangan organisasi media.

Respons berbeda di berbagai negara:

  • AS: Beralih ke kode etik sukarela yang dibuat perusahaan swasta, menolak regulasi sebagai hambatan inovasi;
  • China: Mengejar AI sebagai kepentingan strategis, bahkan jika kemajuan tersebut merugikan industri media swasta;
  • Uni Eropa: Pendekatan regulasi multifaset melalui Digital Services Act (DSA), European Media Freedom Act (EMFA), dan Digital Markets Act (DMA).

AI turn dapat memberikan dorongan baru bagi organisasi berita untuk terlibat lebih erat dengan komunitas open-source guna mengurangi ketergantungan tersebut—misalnya melalui large language models (LLM) dan alat transkripsi audio yang dirilis sebagai open-source.

3. Audiens dan Implikasi Demokratis: Peluang Aksesibilitas vs Ancaman Disinformasi

AI turn menawarkan kesempatan untuk mengevaluasi ulang apa yang paling diinginkan atau dibutuhkan dari jurnalisme. Ada potensi positif yang bisa digali:

  • Membuat jurnalisme lebih aksesibel dan mudah dibaca (ringkasan mudah dipahami, distilasi “catch me up” dari laporan berita sebelumnya);
  • Mengurangi biaya produksi berita (transkripsi dan terjemahan lebih murah) dan akses berita yang lebih terjangkau;
  • Mengembangkan alat personalisasi yang menonjolkan pengetahuan tentang politik lokal atau peluang keterlibatan sipil.

Ancaman serius:

  • Mudah dan murah menghasilkan konten skala besar yang tampak berkualitas tinggi (bahkan jika hanya campuran ide yang terdengar artikulatif);
  • Menyebarkan disinformasi massal – AI tidak dimaksudkan untuk membuat orang percaya hal tertentu, tetapi mempromosikan perspektif yang bertentangan yang membuat mereka gelisah;
  • “AI slop” atau konten sampah yang dibuat untuk menghasilkan pendapatan iklan dengan menarik lalu lintas dari manusia dan bot yang tidak pandai membedakan.

Seiring organisasi media memperdalam keterlibatan mereka dengan perusahaan yang mengoperasikan sistem AI, audiens menghadapi “krisis autentisitas” yang mengancam—kesulitan membedakan antara konten yang dibuat manusia dan yang dihasilkan AI.

Studi terbaru menunjukkan dampak signifikan pada kepercayaan audiens terhadap berita berbasis AI:

  • Hanya 12% orang merasa nyaman dengan berita yang sepenuhnya dibuat oleh AI (Reuters Institute, 2025);
  • Angka ini meningkat menjadi 21% jika ada pengawasan manusia (“human in the loop“);
  • 43% nyaman dengan berita yang sebagian besar dibuat manusia dengan bantuan AI;
  • 62% nyaman dengan berita yang sepenuhnya dibuat jurnalis manusia (naik 4 poin persentase dari 2024).

Riset dari Jerman (Publikasi Journalism Studies, Agustus 2025) menemukan bahwa publik menaruh lebih sedikit kepercayaan pada jurnalisme otomatis, terutama untuk topik politik. Adapun kesediaan untuk menerima iklan juga berkurang, berpotensi mempengaruhi kelangsungan ekonomi organisasi berita yang mengintegrasikan AI.

4. Kesenjangan Pengetahuan di Ruang Redaksi dan Akademi

Jurnalisme menghadapi kesenjangan pengetahuan dan tantangan epistemik yang mendalam di tengah AI turn. Hal ini memicu situasi yang disebut “Silo Pengetahuan”:

  • Banyak jurnalis dan pendidik di sekolah jurnalisme memahami kerangka teoritis yang memandu jurnalisme tetapi kurang literasi teknis tentang sistem AI;
  • Sebaliknya, peneliti yang mempelajari AI (banyak di bidang ilmu komputer) sering memiliki pemahaman terbatas tentang tantangan etis dan profesional yang mendefinisikan jurnalisme.

Studi Wenger et al. (2024) terhadap 14 sekolah jurnalisme terakreditasi di AS menemukan:

  • “Tantangan signifikan bagi administrator program adalah kurangnya keahlian fakultas yang mendalam tentang subjek AI”;
  • Tidak ada satu pun program yang telah mengembangkan “rencana komprehensif seputar instruksi AI untuk mahasiswa jurnalisme”;
  • Pertanyaan apakah AI akan masuk ke pendidikan jurnalisme (jika sama sekali) tampaknya terserah pada masing-masing anggota fakultas.

Dilema etis untuk pendidik:

  • Mahasiswa mencontek dengan AI semakin mudah;
  • Halusinasi AI sangat mengancam kesetiaan pada fakta yang sakral dalam pendidikan jurnalisme;
  • Namun, pekerjaan untuk lulusan jurnalisme semakin membutuhkan keterampilan menggunakan AI—industri berita mungkin sekali lagi berlari lebih cepat dari akademi dalam adopsi teknologi.

Riset tentang scholarship of teaching and learning (SoTL) interdisipliner seputar AI yang memadukan pedagogi, ilmu komputer, studi AI kritis, interaksi manusia-komputer, dan studi jurnalisme. Berbagai inisiatif telah diluncurkan untuk menjembatani kesenjangan ini:

  1. JournalismAI (Polis, LSE & Google News Initiative): Melatih lebih dari 3.000 jurnalis di seluruh dunia, dengan target melatih 4.500 jurnalis dari 100 negara dalam 5 bahasa pada 2025.
  2. AI Journalism Labs (CUNY): Program hybrid 3-6 bulan yang gratis, mengadopsi model seminar-dan-lab dengan dua fokus:
    • AI J Lab: Leaders – Untuk jurnalis dalam peran kepemimpinan;
    • AI J Lab: Builders – Untuk jurnalis di peran audiens, teknologi, dan produk.
  3. WAN-IFRA AI in Media Initiative: Dipimpin oleh Ezra Eeman, menekankan bahwa “AI tidak lagi opsional untuk ruang redaksi—ini eksistensial”.
  4. Online News Association (ONA) AI in Journalism Initiative: Menyediakan pelatihan praktis, konvensi, dan studi kasus tentang cara organisasi berita menggunakan alat AI.

AI turn menuntut masyarakat yang melek media. Jurnalisme bisa kembali relevan dengan tidak hanya meningkatkan pekerjaan melalui affordances AI, tetapi juga dengan memprioritaskan pekerjaan yang membimbing warga menghadapi lanskap komunikasi berbasis AI yang tidak pasti.

Masa Depan: Peluang dan Risiko

Skenario Optimis

AI turn menawarkan “jalan keluar” (off-ramp) untuk melepaskan diri dari “roda hamster”, mengevaluasi kembali apa artinya melakukan pekerjaan yang baik dan tetap terinformasi, dan menerapkan teknologi secara bijaksana saat menciptakan nilai baru dalam pekerjaan jurnalistik.

Contoh implementasi positif:

  • BBC menggunakan AI untuk membuat konten lebih aksesibel—rendering audio realistis dari cerita teks atau pembuatan terjemahan artikel yang lebih akurat dengan cepat;
  • Bloomberg menggunakan machine learning untuk analisis tren dan sentimen dalam berita keuangan;
  • Berbagai redaksi menggunakan algoritma fact-checking untuk mengidentifikasi misinformasi dengan mereferensi silang berbagai sumber.

Skenario Pesimis

Bagi sebagian jurnalis, perkembangan AI akan mempercepat “roda hamster”, mengarah pada tuntutan yang lebih besar untuk melakukan lebih banyak dengan lebih sedikit. Bagi sebagian konsumen berita, proliferasi AI hanya akan semakin mempersulit kemampuan mereka untuk memahami apa yang terjadi di dunia dan memperburuk masalah “burnout” berita.

Risiko konkret:

  • Polusi aliran informasi: Konten AI yang dioptimalkan untuk mesin pencari dan aggregator akan menyingkirkan informasi ‘berkualitas’, membuatnya lebih sulit bagi warga untuk menemukannya.
  • Deepfakes dan cheapfakes: Lebih mudah bagi aktor jahat menggunakan AI generatif untuk memproduksi dan secara sengaja membawa individu ke dalam “rabbit holes” melalui kata kunci yang dioptimalkan AI
  • Epistemic bubbles: Kemampuan AI untuk profil dan diskriminasi yang lebih cerdas membantu mengukuhkan gelembung epistemik yang secara bersamaan membatasi paparan terhadap pandangan alternatif dan menyebarkan ketidakpercayaan terhadap sumber luar
  • Beban kognitif: Warga akan berjuang dengan beban kognitif untuk memastikan apa yang benar, relevan, dan berharga—mengarah pada “detachment” tidak hanya dari informasi tetapi juga dari proses sosial dan politik

Pelajaran untuk Indonesia

Dengan konteks Indonesia sebagai pasar media digital terbesar di Asia Tenggara, temuan riset Dodds et al. sangat relevan:

1. Kesenjangan literasi AI: Industri media Indonesia perlu berinvestasi dalam pelatihan AI untuk jurnalis dan editor. Kolaborasi dengan inisiatif global seperti JournalismAI bisa menjadi titik awal.

2. Ketergantungan pada platform: Media lokal Indonesia sangat bergantung pada platform seperti Google, Facebook, dan TikTok untuk distribusi. AI turn dapat memperdalam ketergantungan ini kecuali ada upaya sadar untuk membangun infrastruktur alternatif.

3. Disinformasi dalam bahasa lokal: Indonesia dengan keragaman bahasa dan budayanya rentan terhadap disinformasi berbasis AI yang diproduksi massal. Diperlukan alat deteksi dan verifikasi yang disesuaikan dengan konteks lokal.

4. Pendidikan jurnalisme: Program studi jurnalisme di Indonesia perlu segera mengintegrasikan literasi AI ke dalam kurikulum, bukan hanya sebagai mata kuliah pilihan tetapi sebagai kompetensi inti.

5. Regulasi yang seimbang: Pemerintah perlu mengembangkan kerangka regulasi yang menyeimbangkan inovasi dengan perlindungan terhadap penyalahgunaan AI—belajar dari pendekatan Uni Eropa sambil mempertimbangkan konteks lokal.

Momen untuk Definisi Ulang

AI turn dalam jurnalisme bukan sekadar tentang teknologi baru yang diadopsi atau fase eksperimentasi yang lewat. Ini adalah persimpangan kritis yang menuntut refleksi dan adaptasi, seperti pergeseran emosional, data, dan audiens sebelumnya.

Dodds, Zamith, dan Lewis menegaskan: Meskipun integrasi AI dalam praktik pada akhirnya mungkin terasa rutin, dampak lebih luasnya—pada tenaga kerja, etika, dan keterlibatan demokratis—kemungkinan akan meninggalkan jejak permanen pada bidang ini.

Yang membedakan AI turn adalah kemungkinan untuk merekonfigurasi aspek fundamental jurnalisme—dari siapa, apa, mengapa, hingga bagaimana—ditambah dengan berbagai kekhawatiran tentang status quo jurnalisme.

Fenomena ini bisa menjadi titik puncak (tipping point) untuk membayangkan kembali jurnalisme secara mendalam. Pertanyaan kunci yang tersisa adalah: Apakah pergeseran khusus ini bersifat sementara atau permanen?

Berdasarkan bukti yang disajikan dalam esai ini, para peneliti percaya bahwa perubahan signifikan sudah terjadi. Tantangannya kini adalah memastikan bahwa AI turn mengarah pada jurnalisme yang lebih baik, lebih adil, dan lebih demokratis—bukan sekadar jurnalisme yang lebih cepat dan lebih murah.

*Photo by CoWomen via Unsplash

Artikel lain sekategori:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

```

Topik
Komentar
Materi Kursus