Pemahaman masyarakat terhadap teknologi AI perlu diperkuat. Semakin luas pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari, makin penting untuk memahami apa itu AI, bagaimana cara kerjanya, dan dampaknya terhadap masyarakat. Kita sebut saja: Melek AI.
Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan mengandung konsep dasar dan terminologi, serta manfaat dan risiko dalam berbagai ranah seperti kesehatan, keuangan, atau pendidikan. AI juga melibatkan pertimbangan etis, seperti keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
AI merujuk pada kemampuan komputer atau sistem komputer untuk melakukan tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia. Ia bertujuan membuat komputer atau sistem komputer dapat “berpikir, belajar, mengambil keputusan, dan bertindak secara otonom”.
Namun, jangan membayangkan robot yang berpikir, berinisiatif, atau bertindak sendiri seperti dalam film-film fiksi ilmiah ala Terminator. Kita masih jauh dari robot berkesadaran mandiri. Yang ada saat ini, AI adalah komputer yang mengotomasi sejumlah pekerjaan sehingga lebih efisien.
Apa yang dimaksud dengan AI hari ini, berbeda dengan gambarannya pada 1950-an. Dulu AI dibayangkan sebagai kecerdasan buatan yang diperagakan oleh entitas selain manusia (baca: komputer). Dengan cara pandang barusan, kalkulator akan memesona ilmuwan pada era itu.
Belakangan istilah AI sejatinya merujuk pada deep learning, sebuah teknologi turunan dari machine learning. Cassie Kozyrkov, Chief Decision Scientist dari Google menyebut AI dimaksud pada dasarnya menjalankan tugas sangat kompleks. Inilah gambaran semenjana AI pada era sekarang.
Ia lahir dari kemustahilan manusia (programer) memberi instruksi yang detail dan kompleks kepada komputer, seperti saat menuliskan formula untuk berkas-berkas dalam peranti pengolah lembar lajur (spreadsheet).
Cara lainnya adalah memperlihatkan contoh kepada komputer, membuatnya “belajar”, lalu merumuskan resepnya. Ini dimungkinkan dengan temuan neural network di dunia komputer.
Mirip seperti saat kita mencicipi nasi yang dimasak di atas wajan dengan berbagai bumbu, lalu mencoba menemukan sendiri resep paling pas untuk membuat ulang masakan itu. Kita menamainya “nasi goreng”—dengan berbagai variasi resep tetapi berakar dari satu ide yang sama.
Kita menghadapkan komputer dengan beragam contoh karena mengajarkan langkah demi langkah untuk seribu satu kemungkinan variasi resep jadi terlalu rumit. Saat jumlah resepnya tak terhingga, mustahil diprediksi, maka kita perlu resep yang kompleks agar dapat mengenalinya.
Itulah yang dilakukan robot-robot generatif semacam ChatGPT yang bekerja dengan teks atau Midjourney yang mengolah gambar. Mesin-mesin itu “dilatih” untuk mengenali jutaan contoh, sehingga ia bisa merumuskan resepnya sendiri secara akurat. Resep ini yang kemudian disebut “model”.
Resep yang akurat dari hasil mengenali teks atau gambar yang disodorkan kepadanya, membantu robot “membuat” teks atau gambar yang diinginkan sesuai kriteria. Ia tak boleh mencontek salah satu atau beberapa contoh secara utuh, ia menggabungkan apa yang pernah dilihatnya.
Dengan mengandalkan contoh, maka ia tak kalis dari kelemahan; Ia hanya bisa mengenali atau membuat berdasarkan contoh yang pernah dilihatnya. Selengkap apapun contoh yang pernah dilihat, akan ada satu situasi saat si mesin tak bisa memprediksi secara pasti karena keterbatasannya itu.
Saat inilah mesin dapat “berhalusinasi”—mencoba mengira-ngira apa yang baru “dilihat” atau “dibacanya” sebagai sesuatu yang lain yang sudah ia ketahui. Seperti kisah si buta yang mendeskripsikan gajah bak batang pohon saat pertama kali menyentuh kakinya.
Tentu saja AI masih bisa berkembang. AI masih akan bertumbuh dan menjadi semakin canggih seiring perkembangan teknologi. Tidak hanya di sisi perangkat lunak, tetapi juga di sisi perangkat keras—karena teknologi deep learning rakus sumberdaya agar bisa belajar.
Ruang Lingkup Melek AI
Paparan di atas bukanlah penjelasan versi ringkas yang ideal untuk memuaskan pertanyaan apa itu AI kepada awam. Meski dilengkapi dengan sejumlah perumpamaan, belum tentu mudah dipahami kemana arah penjelasannya. Di sinilah literasi tentang AI menjadi penting.
Konsep-konsep dasar dan terminologi, seperti machine learning atau deep learning merupakan istilah kunci seputar melek AI. Seperti yang telah diuraikan, deep learning yang merupakan pemutakhiran dari konsep machine learning adalah teknologi terkini yang digunakan dalam AI.
Proses pembelajaran mesin yang tergantung jumlah dan kualitas contoh, membuatnya rentan bias. Contoh-contoh yang dihadapkan kepadanya akan membentuk “kecerdasan” si mesin. Karena itu penerapan AI melibatkan pertimbangan etis, seperti keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
Contoh yang digunakan harus bebas dari bias, misalnya cukup beragam sehingga tidak cenderung pada satu kategori tertentu. Dalam hal gambar manusia, misalnya, harus bisa meliputi semua kategori ras yang ada, sehingga ia tidak bias pada ciri-ciri ras tertentu.
Begitu pula dalam teks. Saat melatih mesin dengan jutaan jenis teks, jangan lupa latar belakang budaya pada setiap teks. Sebut saja saat melihat contoh guyonan dalam bahasa dan budaya tertentu, belum tentu dapat dimengerti oleh budaya yang lain. Sekadar menerjemahkan jelas tak memadai.
Akuntabilitas sumber data yang dijadikan bahan pembelajaran mesin juga harus jelas. Materi yang diduga memiliki hak cipta terbatas, tidak mungkin digunakan begitu saja untuk mengajari mesin tanpa membereskan persoalan hak cipta tersebut dari pemiliknya.
Melek AI atau literasi AI, juga perlu mengulas potensi manfaat maupun risiko dalam berbagai domain seperti kesehatan, keuangan, atau pendidikan. Saat teknologi ini digunakan dalam ranah tersebut, pastikan segala risiko telah dimitigasi. Begitupun pemanfaatannya harus tepat guna, dan etis.
Apakah etis membiarkan mahasiswa menggunakan teknologi ini untuk mengerjakan tugas menulis yang diberikan dosen di lingkungan pendidikan? Benarkah mesin ini dapat mengerjakan semua tugas-tugas itu tanpa membutuhkan campur tangan si mahasiswa?
Ada potensi manfaat, ada pula potensi risiko. Dalam AI+Education Summit yang digelar Universitas Stanford Maret 2023 silam, kedua aspek turut diulas. Kesimpulannya, ada potensi yang bisa didayagunakan baik oleh pelajar maupun pendidik, tetapi ada risiko yang harus diwaspadai.
Misalnya perubahan peran manusia. Bila mesin bisa menggantikan kerja-kerja penulisan, maka manusia “naik tingkat” menjadi penyunting. Dua profesor dari Stanford menekankan, mungkin ChatGPT boleh saja digunakan dalam tugas menulis esai, tetapi mahasiswa harus mampu menyuntingnya menjadi lebih relevan dan autentik.
Salah satu risiko yang harus diwaspadai, adalah kualitas hasil kerja AI. ChatGPT misalnya, dapat memproduksi teks yang tampak “normal” tetapi sesungguhnya tak menyajikan fakta. Alih-alih, ia berhalusinasi tentang sesuatu yang tak nyata. Begitupun dalam gambar buatan Midjourney, masih menyisakan isu anatomi semisal proporsi gambar tangan manusia.
Masih banyak pertanyaan lain yang belum ditemukan jawabannya secara pasti. Kendati begitu, ada sejumlah pendapat yang patut didengar. Misalnya dari UNESCO (2021) yang melahirkan empat nilai untuk diperhatikan dalam pengembangan dan penerapan kecerdasan buatan.
Pertama, menghormati, melindungi, dan mempromosikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan mendasar serta nilai-nilai kemanusiaan; Kedua, menuntut perdamaian, inklusivitas, keadilan, persamaan hak, serta promosi interkoneksi; Ketiga, memastikan keberagaman dan inklusivitas; Keempat, berwawasan lingkungan serta pembangunan berkelanjutan.
Nilai-nilai universal ini setidaknya bisa memandu para pengembang teknologi AI agar tidak kebablasan, mencegahnya menghancurkan tatanan kehidupan umat manusia.
Untuk memahamkan masyarakat terhadap teknologi AI, perlu sumber daya yang lebih mudah diakses dan dapat membantu individu memahami AI. Dalam konteks inilah melek atau literasi AI—literasi yang terkait dengan teknologi kecerdasan buatan—menjadi penting.
Penerapan Melek AI
Salah satu penelitian mengusulkan empat aspek untuk melek AI, yaitu mengetahui dan memahami, menggunakan dan mengaplikasikan, mengevaluasi dan menciptakan, serta menaati etika seputar AI. Enam tingkatan kemampuan kognitif dalam tiga aspek di awal merujuk pada Taksonomi Bloom.
Mengetahui dan memahami kecerdasan buatan, maksudnya mengetahui fungsi dasar AI dan bagaimana memanfaatkan atau menggunakan aplikasi yang relevan. Pengetahuan dasar tentang cara kerja AI ini membantu untuk memahami mengapa ada etika yang harus dipatuhi.
Berikutnya, mampu menggunakan dan mengaplikasikan. Kemampuan ini terkait dengan pentingnya mengetahui cara mengaplikasikan AI dalam berbagai konteks dan penggunaan dalam kehidupan sehari-hari. Ini akan sangat berkaitan dengan kemampuan memecahkan masalah.
Tahap berikutnya, mengevaluasi dan menciptakan. Literasi AI diharapkan memampukan warga dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS – High Order Thinking Skills). Siapapun yang bergelut dengan AI setidaknya harus mampu menilai secara kritis teknologi yang digunakannya.
Penerapan melek AI dapat disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Pendidikan literasi AI pada jenjang sekolah dasar dapat diarahkan untuk membiasakan anak-anak dengan konsep dasar AI atau ilmu komputer. Selain itu mendorong mereka menemukan hubungan antara aplikasi AI dengan konsep-konsep dasarnya.
Sebagai contoh, para peneliti memperkenalkan konsep AI pada anak-anak melalui pendekatan bermain atau penyelidikan melalui kegiatan berpikir tingkat tinggi seperti membuat cerita digital, melakukan Tes Turing, bahkan membangun aplikasi melalui pemrograman berbasis blok.
Siswa di sekolah menengah perlu belajar menerapkan pengetahuan AI yang telah dipelajari sebelumnya ke dalam proyek analisis dan pemecahan masalah secara mandiri. Para peneliti menyarankan berbagai kegiatan praktis seperti merancang-bangun robot, membuat visualisasi data dan perbandingan, atau berlatih membuat model AI.
Di kalangan dewasa seperti mahasiswa universitas atau masyarakat umum, diharapkan lebih siap untuk pengembangan lebih lanjut. Mereka harus dapat menggambarkan masalah secara formal dan pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi. Selain itu menerapkan keterampilan tentang AI dalam rangka memecahkan masalah dunia nyata, menjawab tantangan akademik dan karier pada masa depan.
Untuk membudayakan masyarakat umum agar memahami dan menggunakan aplikasi AI secara etis, sumber daya dan kursus online gratis, instalasi seni publik dan pameran museum adalah pendekatan yang layak untuk membentuk masyarakat yang kolaboratif, kreatif, kuat, dan aman.
Penelitian ini kemudian merekomendasikan sejumlah hal seputar literasi AI, di antaranya:
- AI menjadi keterampilan fundamental bagi setiap orang, bukan hanya untuk ilmuwan komputer. Selain membaca, menulis, aritmatika, dan keterampilan digital, kita harus menambahkan AI ke dalam literasi teknologi abad ke-21 setiap pembelajar di tempat kerja dan kehidupan sehari-hari.
- Terinspirasi oleh taksonomi Bloom, literasi AI memiliki kompetensi dasar dalam mengetahui dan memahami, menggunakan dan menerapkan, serta mengevaluasi dan menciptakan AI. Pada saat yang sama, mendorong tanggung jawab sosial dan kesadaran etis penggunaan AI untuk kebaikan sosial.
- Siswa tidak hanya sebagai pengguna akhir tetapi berpotensi menjadi pemecah masalah untuk menggunakan teknologi AI dalam berbagai skenario. Siswa bahkan dapat menciptakan solusi perangkat keras dan lunak AI agar lingkungan masyarakat menjadi tempat yang lebih baik.
- Literasi AI menggabungkan ide-ide dari ilmu data, pemikiran komputasional, dan pengetahuan multi-disiplin untuk memainkan literasi AI dan pemikiran AI.
- Dalam hal pengajaran pendidik, kerangka pengetahuan teknologi, pedagogis, dan konten perlu dipertimbangkan untuk menyediakan peta pemahaman bagaimana mengintegrasikan literasi AI ke dalam kelas secara efektif. Artefak pembelajaran yang sesuai dengan usia dan kurikulum perlu dirancang demi menopang pemahaman konseptual AI siswa K-12 (pendidikan dasar dan menengah) dan merangsang motivasi dan minat mereka dalam mempelajari AI.
- Pendidik harus memperbarui pengetahuan AI mereka untuk mengatasi tantangan pengajaran seperti, mengetahui dan menggunakan teknologi AI. Misalnya sistem pembelajaran adaptif yang memfasilitasi praktik pengajaran, serta mempromosikan pembelajaran personalisasi untuk memahami kemajuan dan kebutuhan belajar siswa.
- Peneliti dan pendidik masa depan perlu mengembangkan strategi pedagogis (misalnya, pembelajaran berbasis proyek kolaboratif, gamifikasi) dan model teoretis (misalnya, teori determinasi diri, konstruksionisme) supaya dapat meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa, mempromosikan interaksi dan kolaborasi, meningkatkan motivasi dan sikap, dan mengembangkan banyak keterampilan belajar dalam konteks literasi AI.
- Para peneliti dan pendidik di masa depan perlu mengembangkan evaluasi kuantitatif dan kualitatif untuk menguji kinerja pembelajaran siswa melalui tes pengetahuan pasca-pembelajaran, survei persepsi diri, artefak pembelajaran siswa, proyek, dan percakapan.
- Manusia sebagai yang utama perlu ditanamkan pada warga agar menjadi pengguna yang bertanggung jawab dan etis, menghargai inklusivitas, keadilan, akuntabilitas, transparansi, dan etika, bukan hanya meningkatkan kemampuan dan minat siswa dalam AI.
*Photo by Andy Kelly on Unsplash
Blog artikel yang sangat bermanfaat, terima kasih. Berbagai jenis teknologi dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan dan bidang. Salah satunya adalah AR marker merupakan Augmented Reality yang menggunakan teknologi marker atau penanda objek yang dapat dibaca oleh webcam.