Beranda  »  Sorotan Media   »   RUU KKS Jangan Ancam Hak Sipil

RUU KKS Jangan Ancam Hak Sipil

Oleh: Melekmedia -- 16 Oktober, 2025 
Tentang: ,  –  Komentar Anda?

A computer screen with the words back the web on it

Pemerintah berdalih Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) adalah kebutuhan mendesak untuk melindungi Infrastruktur Informasi Kritis (IIK) dari serangan siber. Namun, di balik narasi pertahanan negara, RUU ini mengandung pasal-pasal bermasalah.

Sejumlah pasal mengancam hak sipil, misalnya “peleburan” wewenang militer dan sipil, dan potensi bangkitnya semangat Dwifungsi ABRI di ranah digital. RUU KKS, dalam drafnya yang belum disebar terbuka, dinilai gagal menerapkan prinsip demokrasi dan akuntabilitas global.

Per Oktober 2025, berita menyatakan bahwa Pemerintah (melalui panitia antarkementerian Kemenkum, Kemenkomdigi, dan BSSN) masih menyusun dan memfinalisasi draf RUU KKS terbaru. Jadi, bahan yang dibahas dalam artikel ini merujuk pada draft yang dibahas di media.

Pihak TNI telah memberikan klarifikasi resmi yang menegaskan bahwa keterlibatan mereka terbatas pada aspek pertahanan negara di ranah siber, tanpa menyentuh ranah penegakan hukum terhadap masyarakat sipil.

Mereka menegaskan bahwa jika terdapat kasus kejahatan siber yang melibatkan prajurit TNI, penyidikan dilakukan secara internal berdasarkan hukum militer yang berlaku. Hal ini tidak akan mengintervensi proses hukum terhadap warga sipil.

Definisi yang Multitafsir

Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik proses perumusan RUU KKS kurang memerhatikan perlindungan individu. Mereka menyoroti dominasi pendekatan state centric yang menekankan kepentingan nasional tanpa aspek pelindungan bagi warga.

Keterlibatan prajurit TNI sebagai penyidik pidana siber, dianggap berpotensi melanggar perlindungan hak individu dan mengaburkan batas penegakan hukum sipil. Koalisi pun menyoroti istilah ‘makar di ruang siber’ yang ada di draf RUU KSS.

Koalisi melihat RUU ini juga bisa mengancam demokrasi. Ancaman terhadap demokrasi dan negara hukum semakin nyata dengan diakomodasinya TNI sebagai penyidik tindak pidana dalam RUU ini.

Batas yang kabur ini menimbulkan efek gentar (chilling effect) yang serius di kalangan jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil. Warga akan cenderung menahan diri untuk berekspresi atau melaporkan penyimpangan, karena takut aktivitas digitalnya dianggap sebagai “ancaman” keamanan.

Pelanggaran Prinsip Supremasi Sipil

Ini adalah poin paling kritis. RUU KKS memberikan wewenang penyidikan tindak pidana siber kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) jika tindak pidana tersebut menyangkut sistem pertahanan dan keamanan nasional.

Ini karena mencampuradukkan antara kebijakan keamanan siber dan kejahatan siber. Hal ini tampak dari munculnya munculnya sejumlah tindak pidana baru sebagaimana diatur Pasal 58, 59, dan 60 pada draf RUU KKS.

Dalam praktik global, ada pemisahan jelas antara ranah sipil dan militer, membedakan Cybercrime (ditangani Polisi/FBI) dengan Cyber Warfare (ditangani Militer). Sementara norma RUU KKS memberi TNI peran penyidikan pidana yang secara tradisional hanya dimiliki oleh Polri.

Kemudian, penindakan hukum terhadap warga sipil harus dilakukan oleh lembaga sipil yang tunduk pada hukum pidana umum, sebagai bentuk supremasi sipil. Sedangkan draft RUU KKS mendorong keterlibatan militer dalam penegakan hukum domestik, berpotensi menjadi polisi siber yang tidak tunduk pada pengawasan sipil.

Tumpang Tindih Lembaga dan Minimnya Akuntabilitas

RUU ini tidak secara tegas menempatkan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai otoritas tunggal yang berkoordinasi, justru memberi celah bagi peran TNI yang lebih besar tanpa kontrol yang memadai.

RUU terlalu berfokus pada pertahanan negara dan infrastruktur, namun minim pasal yang secara tegas menjamin perlindungan hak privasi dan data individu sebagai pilar utama keamanan siber, apalagi pasca disahkannya UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

Untuk menjadikan RUU KKS sebagai undang-undang yang kuat secara pertahanan dan demokratis secara hak, sejumlah saran telah dikemukakan, di antaranya:

1. Penghapusan Wewenang Penyidikan TNI (Demiliterisasi Siber)

  • Segala bentuk kewenangan penyidikan pidana siber terhadap warga sipil harus dihapus dari TNI.
  • Peran TNI harus dikembalikan pada fungsi pertahanan murni dari serangan militer siber, sesuai UU TNI. Jika keahlian TNI dibutuhkan, itu harus dalam bentuk Perbantuan (assistance) yang diatur ketat kepada Polri atau BSSN, bukan sebagai otoritas penyidik.
  • BSSN harus diperkuat sebagai otoritas teknis yang mengurus mitigasi dan respons insiden, sementara Polri tetap menjadi ujung tombak penegakan hukum pidana siber sipil.

2. Reorientasi Regulasi: Dari State-Centric ke People-Centric

  • Harmonisasi dengan UU PDP: RUU KKS harus secara eksplisit menyebutkan bahwa setiap operasi atau intervensi siber negara harus tunduk pada UU PDP dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, menjamin bahwa keamanan siber tidak boleh melanggar privasi dasar.
  • Perjelas Batasan Pidana: Frasa-frasa karet seperti “Kepentingan Siber Indonesia” harus diperjelas definisi operasionalnya agar tidak multitafsir. RUU ini tidak boleh digunakan untuk menjerat kritik, perbedaan pendapat, atau ekspresi digital yang sah.
  • Perjelas definisi. Konteks Cybercrime (Ancaman Sipil) dengan Cyber Warfare (Ancaman Militer) memiliki ruang lingkup dan konsekuensi yang berbeda, kedua hal ini harus dijelaskan perbedaannya secara spesifik.

3. Pembentukan Mekanisme Pengawasan Independen

  • Komite Pengawasan Sipil: Bentuk Komite Pengawasan Independen yang melibatkan pakar hukum, akademisi, dan perwakilan masyarakat sipil. Komite ini bertugas meninjau implementasi RUU KKS untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang negara dalam pengawasan atau penindakan yang melanggar hak-hak sipil.
  • Transparansi Standar: Kebijakan dan standar keamanan siber yang ditetapkan BSSN harus transparan dan dapat diaudit secara publik untuk memastikan akuntabilitas.

RUU KKS adalah momen krusial. Indonesia harus memilih: apakah membangun sistem keamanan siber yang kuat dan modern, namun tetap berpegangan pada supremasi sipil dan jaminan hak asasi manusia, atau mengambil jalan pintas dengan mengorbankan demokrasi demi keamanan semu melalui pelibatan militer dalam ranah sipil. Pilihan kedua adalah kemunduran nyata dalam perjalanan Reformasi.

*Photo by Glen Carrie via Unsplash

Artikel lain sekategori:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

```

Topik
Komentar
Materi Kursus