Oleh: Ipung Purnomo
Tidak bisa dimungkiri, penipuan online ikut marak di tengah berbagai situs e-commerce, baik melalui forum jual beli, hingga media sosial yang terus berkembang, siapapun bisa dan bebas berdagang secara online. Lihatlah halaman Facebook Anda, bisa dikatakan hampir setiap hari bermunculan foto yang menawarkan aneka produk. Bahkan Multiply yang dulunya blog untuk berbagi tulisan, foto, dan sebagainya, kini berevolusi menjadi etalase online.
Di satu sisi, ini merupakan hal yang baik, karena peluang berwirausaha terbuka lebar dan dapat meningkatkan aktivitas perekonomian. Akan tetapi, apakah perdagangan online ini sudah mencapai tahap yang memuaskan pembeli? Mungkin ‘iya’, tapi jawabannya cenderung ‘tidak’.
E-commerce atau perdagangan elektronik (online) adalah model bisnis yang memungkinkan perusahaan atau individu bisa membeli atau menjual barang melalui internet (online). Sederhananya, e-commerce adalah penyebaran, penjualan, pembelian, serta pemasaran barang atau jasa yang mengandalkan sistem elektronik, seperti internet, TV, atau jejaring lainnya.
Ada istilah lain yang digunakan dalam membahas perdagangan secara daring ini. Istilah marketplace misalnya, sering muncul. Apa bedanya e-commerce dengan marketplace? Marketplace adalah panggung tempat bertemunya para penjual dan pembeli. Ia mirip seperti mall dalam bentuk daring.
Semuanya bisa disebut sebagai jual beli atau perdagangan secara daring. Berbeda dengan perdagangan secara luring, pedagang dan pembeli tidak perlu bertatap muka. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya penipuan online, sekaligus meningkatkan rasa waswas bagi pembeli.
Dilihat dari survey ini, sebagian besar masyarakat kita ternyata masih enggan berbelanja online. Alasan terbesar mereka adalah tidak percaya kepada si pedagang alias takut ditipu. Jual beli online dianggap sesuatu yang menakutkan dan penuh risiko.
Kalau sudah ditipu, lenyaplah uang hanya dalam hitungan detik. Mau lapor Polisi? Belum tentu juga jadi solusi. Bukannya pesimis, tetapi penanganan cybercrime di Indonesia masih jauh dari yang kita harapkan.
Sekarang mari kita bayangkan, bagaimana jika masyarakat – kita – membentuk gerakan kampanye melawan penipuan online. Kenapa menggunakan kata ‘melawan’ bukan dengan kata ‘anti’? Sebab dengan kata ‘melawan’ maka kita akan menggunakan taktik tersendiri untuk melindungi diri, sementara kalau menggunakan kata ‘anti’ bisa menimbulkan kesan tidak baik terhadap jual beli online itu sendiri.
Gerakan ini nantinya bernama Smart Buying, yang bermakna “cerdas dalam membeli”. Gagasan kampanye ini ingin menyadarkan masyarakat tentang bahaya penipuan online, kemudian mengajak untuk mencegahnya bersama. Caranya yaitu dengan ajakan cermat sebelum membeli, terutama cermat dalam mengetahui informasi penjual. Karena kunci utama dalam mempercayai penjual hanyalah dengan mengenalnya.
Tidak hanya membentuk gerakan online, tetapi kita juga bisa muncul di dunia nyata, dengan mengadakan seminar, ngobrol tentang jual beli online, dengan melibatkan para pakar di bidangnya. Bila perlu kita bisa bekerja sama dengan lembaga yang melindungi hak-hak konsumen di internet.
Mari kita bayangkan lagi bila sebagian masyarakat sudah sadar. Jika jual beli online sudah mencapai tahap yang memuaskan bagi sebagian besar konsumen. Well, bisa jadi istilah pedagang kaki lima di jalanan migrasi ke dunia maya menjadi pedagang satu jari…, klik!
Berikut ini adalah media-media yang dirancang untuk kampanye ini:
Bila telanjur menjadi korban penipual online, sebaiknya segara laporkan ke pihak-pihak berwenang. Setidaknya laporlah ke polisi. Di Indonesia, warga juga bisa lapor ke situs Lapor.go.id, atau ke Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Bila menggunakan layanan e-commerce atau marketplace, laporkanlah ke penyedia layanan.
*Ipung Purnomo, adalah Mahasiswa Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Pasundan, Bandung. Gagasan ini disampaikan dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Merencana V, di Jurusan DKV Unpas, Bandung.
keren. 🙂
salam kenal dari http://penipuan.org