Beranda  »  Tata Laksana » Untuk Guru   »   Tantangan dan Potensi AI di Kelas

Tantangan dan Potensi AI di Kelas

Oleh: Melekmedia -- 15 Mei, 2025 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Tantangan dan Potensi AI di Kelas

pexels katerina holmes anak candu internet

Sebuah siniar mengundang dua narasumber ahli dalam bidang pendidikan dan kognisi: Maryanne Wolf, seorang ahli neurosains kognitif dan pakar perkembangan otak; dan Rebecca Winthrop, direktur Center for Universal Education di Brookings Institution.

Episode “Rethinking School in the Age of AI” merespons kecerdasan artifisial (KA/AI), khususnya aplikasi Generative AI seperti ChatGPT, yang menghadirkan gangguan (disrupsi) pada sistem pendidikan. AI menyulitkan guru mendeteksi penggunaannya dan membuat konsep tugas serta penilaian “tradisional” menjadi tidak relevan.

Siniar ini mengidentifikasi sejumlah ancaman sekaligus potensi peluang dari adopsi AI di sekolah. Salah satu ancaman terdengar seram: Pengenalan teknologi di kelas sering dilihat sebagai Faustian Pact. Ini seperti kesepakatan “seseorang dengan setan”, menjual jiwanya demi kenikmatan dunia.

DI sisi lain, ada potensi keuntungan yang bisa diraih, seperti mendukung pergeseran dari “age of achievement” ke “age of agency“. Guru bisa menekankan penerapan pengetahuan (deep learning). Siswa belajar untuk memecahkan masalah nyata, bukan sekadar teori.

Berikut di antara ancaman penggunaan AI dalam pendidikan yang perlu diperhatikan:

  • Gangguan Sistem Pendidikan Tradisional: AI seperti ChatGPT dapat menyelesaikan PR, menulis esai, memberikan ringkasan, dan menjawab soal dengan cepat, membuat guru sulit mendeteksi penggunaannya dan konsep tugas serta penilaian lama menjadi tidak relevan.
  • Tekanan untuk Menyalahgunakan AI: Adanya tekanan untuk mendapatkan nilai bagus sering kali membuat siswa merasa ‘harus’ menggunakan alat AI, bahkan untuk mencontek, agar tidak tertinggal dari teman-teman mereka.
  • Tawar-menawar “Faustian”: Pengenalan teknologi, termasuk AI, di kelas sering dilihat sebagai tawar-menawar Faustian atau Faustian Pact: Sesuatu yang penting secara moral (seperti proses berpikir mendalam) ditukar dengan keuntungan material (seperti efisiensi). Faustian Pact adalah kesepakatan “seseorang dengan setan”, menggambarkan seseorang yang menjual nilai hidup atau prinsip moral tertingginya kepada “setan” dengan imbalan kenikmatan duniawi.
  • Pengalihdayaan Kognitif (Cognitive Offloading): AI melakukan upaya mental yang seharusnya dilakukan siswa, upaya yang esensial untuk membangun sirkuit pembelajaran dan mengembangkan keterampilan kognitif inti seperti berpikir analogis, inferensial, empatik, dan yang paling penting, berpikir kritis. Mengalihdayakan pengembangan keterampilan fundamental ini berpotensi membuat siswa kehilangan keterampilan (deskilled).
  • Merusak Keterampilan Membaca Mendalam: Penggunaan perangkat digital cenderung mendorong “pembelajaran dangkal” (surface learning) atau “skimming” (membaca pola ‘F’ atau ‘Z’). Ini akan melewatkan nuansa dan koneksi mendalam, yang penting demi pemikiran kompleks. Penelitian menunjukkan keterampilan membaca mendalam paling baik dikembangkan melalui media cetak, terutama pada usia perkembangan krusial.
  • Dampak Negatif Paparan Digital Dini: Data menunjukkan paparan digital yang tinggi pada usia dini (0-8 tahun) berkaitan dengan penurunan mekanisme perhatian dan kinerja akademik. Pada usia 0-5 tahun, paparan digital menyebabkan gangguan perhatian, perhatian parsial berkelanjutan (continuous partial attention), dan stimulasi berlebihan.
  • Meningkatkan Ketidaklibatan Siswa: Penggunaan teknologi yang tidak tepat atau fokus pada “pembelajaran dangkal” dapat berkontribusi pada siswa yang merasa tidak suka dengan apa yang mereka lakukan di sekolah dan berada dalam “mode penumpang” (passenger mode)—mereka melakukan upaya minimum, yang penting lulus. Siswa dalam “achiever mode” bisa menjadi rapuh, enggan mengambil risiko, dan kurang adaptif karena fokus pada hasil, bukan proses.
  • Adopsi Teknologi yang Didorong oleh Tekanan Sosial: Adopsi teknologi di sekolah sering kali didorong oleh tekanan sosial atau “FOMO” (Fear of Missing Out), bukan berdasarkan pemahaman mendalam tentang perkembangan anak atau pedagogi. Banyak teknologi pendidikan dibuat oleh non-edukator, berfokus pada skalabilitas dan kemudahan adopsi massal (“plug and play“). Akibatnya, sebagian besar edtech hanya menggantikan atau menambah fungsi analog (substitusi atau augmentasi) tanpa secara fundamental mengubah pendidikan.
  • Potensi Merugikan Pelajar Usia Dini: AI berpotensi merugikan pelajar usia dini dengan mendorong pengalihdayaan kognitif sebelum keterampilan fundamental berkembang penuh. Ini berbeda dengan pemanfaatan AI bagi pelajar yang lebih dewasa.
  • Risiko Perubahan Sosialisasi dan Interaksi: AI dapat mengubah cara anak bersosialisasi dan berinteraksi. Memungkinkan perlakuan kasar terhadap chatbot (menginterupsi, bersikap kasar) dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan manusia, berpotensi merusak sifat dasar hubungan antarmanusia.
  • Dampak Tak Terduga pada Keguyuban Sosial: AI berpotensi menyisipkan dirinya dalam interaksi dan institusi kita, menciptakan kerugian besar pada keguyuban sosial, ikatan kebersamaan yang membangun masyarakat—yang bahkan belum kita sadari. Ini serupa dengan dampak media sosial yang baru disadari belakangan.

Tentu saja di balik berbagai ancaman kehadiran AI atau KA dalam pendidikan, ada peluang yang bisa ditangkap. Bila parapihak di sekolah mampu memanfaatkan teknologi ini dengan baik dan benar, terdapat sejumlah potensi untuk memutakhirkan pendidikan sekolah, di antaranya:

  • Memaksa Pemikiran Ulang Tujuan Pendidikan: Kemunculan AI secara fundamental memaksa kita untuk mempertanyakan dan memikirkan kembali tujuan sebenarnya dari pendidikan.
  • Potensi Peran Positif Teknologi: Meskipun ada risiko, teknologi (termasuk AI) juga optimistis dapat memainkan peran positif di kelas jika digunakan dengan tepat.
  • Mendukung “Mode Eksplorasi” (Explore Mode): AI dan teknologi dapat digunakan untuk membantu siswa masuk ke “mode eksplorasi”, mereka didorong oleh rasa ingin tahu dan menjadi pembelajar yang gigih dan adaptif. Contoh penggunaan Realitas Virtual (VR) di ASU Biology 101 menunjukkan peningkatan kinerja siswa karena adanya elemen eksplorasi.
  • Mendukung Pendekatan Berbasis Proyek/Masalah: AI dapat mendukung pergeseran dari “age of achievement” ke “age of agency“, menekankan penerapan pengetahuan (deep learning). Pendekatan berbasis proyek atau masalah yang otentik dan relevan dengan kehidupan siswa dapat menjadi lebih bermakna dan efektif, kala siswa belajar untuk memecahkan masalah nyata.
  • Potensi sebagai Tutor Individual: AI memiliki potensi besar sebagai tutor individual, terutama dalam konteks di mana instruksi dasar sangat minim. Penelitian awal di Nigeria menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam membantu siswa mempelajari Bahasa Inggris.
  • Membantu Pengguna Dewasa dalam Sistem Pendidikan: AI dapat “mempercepat” (supercharge) pembelajaran di kalangan pengguna dewasa yang telah memiliki keterampilan kognitif inti. AI juga sangat membantu orang dewasa dalam sistem pendidikan (guru, staf) dengan tugas-tugas administratif yang membosankan, seperti penjadwalan, atau penilaian cepat.
  • Mendukung Kebutuhan Khusus: Teknologi, ketika dikembangkan oleh pendidik, sangat efektif mendukung anak-anak dengan kebutuhan neurodivergen, seperti perangkat lunak disleksia.
  • Mendorong Pengembangan Keterampilan Baru: Di dunia AI, siswa tidak hanya perlu mengakuisisi informasi, tetapi juga membutuhkan keterampilan baru seperti mengelola AI dan menerapkan pengetahuan.

Meskipun AI menawarkan potensi efisiensi dan dukungan, terutama bagi pengguna dewasa dan dalam konteks tertentu, implementasinya dalam pendidikan anak-anak harus didekati dengan sangat hati-hati dan penuh perhitungan. Kita harus memilih pendekatan yang proaktif, berpusat pada manusia, dan senantiasa berlandaskan etika.

Penting untuk melakukan evaluasi risiko dini (pre-mortem) untuk mengidentifikasi dan memitigasi potensi dampak negatif sebelum terjadi. Yang lebih fundamental lagi adalah memastikan bahwa teknologi, seberapa canggih pun itu, tidak menggeser fokus utama pendidikan dari pengembangan keterampilan berpikir mendasar—seperti berpikir kritis, logis, dan kreatif—serta tujuan pendidikan yang lebih luas.

Semua upaya ini harus dilandasi oleh prinsip fundamental “kewajiban merawat” (duty of care), yakni senantiasa melindungi dan memprioritaskan kesejahteraan anak-anak sebagai pengguna utama teknologi ini. Pendidikan era AI bukan hanya tentang menguasai alat, tetapi juga tentang membentuk individu yang cerdas, adaptif, dan beretika dalam menghadapi masa depan yang serba digital.

*Photo by Katerina Holmes via Pexels.com

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.