Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menargetkan sekolah terhubung ke internet pada 2019. Hingga Mei 2022, lebih dari sepertiganya belum bisa internetan.
Saat itu menterinya Rudiantara. Ia bilang menghubungkan sekolah ke internet merupakan hal mendesak menuju Indonesia semakin baik.
“Dari 280 ribu sekolah mulai jenjang sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA), 80 ribu lebih belum terhubung internet,” ujarnya dulu (2018).
Pada 2019, program Digitalisasi Sekolah dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di Kab. Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, peluncuran ditandai pembagian sarana pembelajaran TIK untuk sekolah serta tablet untuk siswa.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kala itu, Muhadjir Effendy, menyatakan program digitalisasi sekolah ini menyasar daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).
“Untuk jaringan internet, kami sudah berkoordinasi dengan Kemenkominfo. Sedangkan untuk penyediaan listrik, Kementerian ESDM menyanggupi untuk menyediakan pembangkit (listrik) tenaga surya,” terangnya.
Rencana itu agaknya tersendat. Setahun berlalu, kritikan muncul. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menilai rencana untuk digitalisasi sekolah pada 2021 belum matang.
“Proyek ini terkesan terburu-buru. Wilayah 3T belum ter-cover penuh jaringan internet. Sedangkan SDM guru kita juga masih belum siap. Harusnya selesaikan PR ini dulu,” kata Fikri, Rabu (11/11/2020).
Sementara itu, istilah “internet” keburu raib dari rencana strategis (Renstra) Kemendikbud Ristek periode 2020-2024.
Bila dibandingkan dengan Permendikbud Ristek No. 13/2022, renstra dalam Permendikbud No. 22/2020 masih menyebut kata “internet”, membahas minimnya akses di jenjang SD.
Ihwal Ketersediaan Sarana Prasarana di Sekolah (hal. 31), “lebih dari 40 persen sekolah tidak memiliki akses internet, terutama pada jenjang SD.”
Dokumen itu mengutip data BPS yang menunjukkan angka penetrasi internet di sekolah paling rendah di Papua dan Maluku—tak sampai seperempat dari total sekolah memiliki akses internet.
Lebih dari sepertiga tak berinternet
Pekerjaan rumah yang disinggung DPR masih tersisa hingga kini. Baik dalam urusan guru, maupun sekolah yang belum terkoneksi internet. Angka dan proporsinya masih mencolok.
Penetrasi internet di sekolah bisa ditengok dalam “Data Pokok Pendidikan“, dari situs Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Madrasah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama tidak termasuk dalam pangkalan data milik Kemendikbud Ristek ini.
Mengolah data yang diambil pada 25 Mei 2022, terungkap bahwa SMK tak berinternet mencapai 28,42 persen; SMA 29,37 persen; SMP 37,35 persen; dan jenjang SD tertinggi dengan 40,16 persen.
Proporsi masing-masing jenjang sejalan dengan jumlahnya. SD terbanyak dengan 147 ribu sekolah; SMP 41 ribu; SMA dan SMK masing-masing sekitar 14 ribu sekolah.
Bila ditotal pada semua jenjang, lebih dari sepertiganya tak memiliki akses internet, atau sebesar 38,15 persen. Masih ada PAUD, SLB, serta PKBM & SKB yang tak diperhitungkan di sini.
Artikel ini hanya akan menggunakan data SMA sebagai ulasan mendalam demi alasan kepraktisan dalam penyajian data. Selengkapnya bisa dilihat di laman Tableau.
Sebagian sekolah tak terdata
Semua jenjang sekolah dalam pangkalan data ini, meliputi negeri maupun swasta. Per 1 Juni 2022 jumlah di jenjang SMA totalnya 14.220. Total untuk semua jenjang 439.096 sekolah.
Berdasarkan pengamatan, pembaruan data di situs berlaku rutin, bisa setiap saat, kendati status pemutakhiran ditampilkan setiap hari. Datanya bisa berubah—tergantung waktu akses.
Saat mengambil data per 25 Mei 2022, jumlah total SMA adalah 14.217, dari 34 provinsi dan luar negeri. Sedangkan total sekolah berjumlah 439.057.
Selisih data diabaikan dalam artikel ini dengan asumsi gambaran yang didapat mewakili kondisi ketika data itu diambil. Secara persentase, sudah 99 persen data SMA yang masuk saat itu.
Sebagai catatan, data merupakan pemutakhiran per semester genap tahun ajaran 2021/2022. Catatan lain, sebagian sekolah tak mengisi keterangan akses internet di sekolahnya—alias datanya kosong.
Terbanyak di Jabar, proporsi terbesar Pabar
Berdasarkan data saat itu, SMA di Indonesia yang menyatakan memiliki akses internet—apapun jenisnya—sebanyak 9.873 sekolah. Maka, 4.172 sekolah tak punya akses, 13 sekolah di luar negeri, dan 146 tak terdata.
Dalam persentase, nyaris sepertiga atau 29,37 persen dari 14.204 SMA di Indonesia mengaku tak punya akses internet. Bila 146 sekolah tanpa data dikategorikan “tanpa akses”, proporsinya kian mendekati sepertiga.
Jawa Barat terbanyak dalam hal jumlah sekolah tanpa akses. Tidak aneh mengingat jumlah sekolahnya pun terbanyak se-Indonesia. Secara proporsional, 7 dari 25 SMA di Jabar tak berkoneksi internet.
Tengoklah proporsinya pada masing-masing provinsi, paling tinggi adalah Papua Barat. Dari 131 SMA di wilayah Indonesia timur itu, 67 tak berkoneksi atau lebih dari 51 persen.
Adapun persentase terendah Sumatera Selatan. Dari 616 SMA yang terdata, “hanya” 120 di antaranya yang tak memiliki akses internet (19,48 persen).
Data ini menunjukkan persentase SMA tanpa internet per provinsi tak ada yang di bawah dua digit. Nyaris semua di atas 20 persen, atau lebih dari seperlima SMA di setiap provinsi bisa diduga tak terkoneksi internet.
Menurut sebarannya, hanya Sumatera dengan selisih cukup tinggi, 19 ke 31 persen. Di Jawa, perbedaan DKI Jakarta dengan Jawa Timur, “hanya” sekitar 8 poin, sedangkan selisih di Sumatera mencapai 12 persen poin.
Negeri atau swasta, tergantung wilayah
Dari status sekolah—negeri atau swasta—data menunjukkan ia bukan penentu keberadaan akses internet di SMA.
Di sebagian Sumatera, SMA negeri lebih banyak yang tak berakses, kecuali di Sumatera Utara dan Lampung. Polanya mirip di Sulawesi, dengan Sulawesi Selatan sebagai pengecualian.
Sementara di kepulauan Bali dan Nusa Tenggara, SMA swasta di provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat yang paling banyak tak berkoneksi. Kecuali di Nusa Tenggara Timur sebagian besar berstatus negeri.
Adapun di Pulau Jawa, sekolah swasta mendominasi SMA nir-koneksi. Proporsi SMA swasta tak berinternet di Jakarta bahkan lebih dari 95 persen.
Kebalikannya di Nusa Tenggara Timur, dan provinsi di Kalimantan, serta Maluku & Papua; sebagian besar SMA negeri tergolong "fakir bandwith".
Punya koneksi belum tentu memadai
Di antara kategori akses internet yang dilaporkan, jaringan milik Telkom paling populer. Uniknya, di antara beragam jenis akses internet, "Tidak ada koneksi" tetap juaranya.
Jaringan milik Telkom seperti Telkom Speedy ada di puncak daftar, diselingi oleh kategori "Lainnya" yang tak terdefinisi. Ada pula Telkom Astinet dalam daftar, dan Telkomsel Flash yang sebagian sahamnya milik Telkom.
Di antara koneksi berlabel "Lainnya", disebut menggunakan Serat Optik, Wavelan, Kabel, atau Satelit. Tidak terlalu informatif, tapi setidaknya memberi gambaran jenis koneksinya.
Dari jenis koneksi ini tergambar kualitas akses yang dimiliki sekolah tak sepenuhnya memadai. Misalnya, penggunaan internet seluler vs serat optik.
Satu akses internet lewat jaringan seluler, normalnya tidak digunakan bersama-sama oleh warga di sekolah. Lain cerita bila menggunakan kabel, serat optik, atau satelit.
Bayangkan untuk media sosial atau game online, internet dengan kecepatan 10 Mbps mungkin bisa stabil saat digunakan oleh 6-8 orang.
Namun, untuk streaming, download, upload, dan nonton video dengan kualitas HD atau Full HD, kecepatan yang sama idealnya untuk 2–4 orang.
Berharap kelanjutan digitalisasi sekolah
Proporsi 39,68 persen jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK tak memiliki akses internet, setara dengan 53 ribu dari 134.210 sekolah.
Angka ini sudah melampaui pernyataan pejabat Kemendikbud pada 2020: 42.159 sekolah belum terakses internet, atau mencapai 19 persen.
Pihak Pusdatin Kemendikbud menjanjikan koordinasi dengan Kementerian Kominfo untuk mengecek silang agar angka 19 persen itu bisa turun.
Sejauh mana upaya mengerjakan PR tersebut? Kementerian Kominfo dikabarkan telah menyiapkan Hot Backup Satellite (HBS), mendukung layanan internet cepat di 93.400 titik sekolah.
Bagaimanapun, 53 ribu sekolah tak berinternet—bahkan mungkin lebih—di seantero nusantara tak bisa didiamkan. Mereka sudah berpotensi "terpinggirkan" karena bukan prioritas dalam beragam bantuan.
Bantuan laptop dan perangkat TIK pada program Digitalisasi Sekolah (2021) dari Kemendikbud Ristek bernilai Rp17 triliun hanya akan diberikan untuk sekolah yang telah memiliki jaringan internet.
Belajar dari pandemi Covid-19, saat harus beralih ke pembelajaran jarak jauh, sekolah di luar jaringan ini paling merasakan dampaknya; meski bantuan pulsa digelontorkan pemerintah.
Pulsa gratis itu bukan program jangka panjang, atau solusi permanen untuk mereka yang nir-koneksi, apalagi di daerah 3T.
Pemerintah perlu menggenjot akses internet ke sekolah, karena terbukti berkorelasi dengan kualitas pendidikan, demikian menurut laporan The Economist Intelligence Unit (2021).
Laporan itu mengungkap potensi yang bisa dipetik dengan hadirnya akses internet ke sekolah. Kendati, koneksi bukan jurus pamungkas.
Alex Wong, Senior Strategy Advisor dari International Telecommunication Union (ITU), mengingatkan akses internet di satu sisi adalah suplai. Di sisi yang lain, kualitas permintaan juga harus ditingkatkan.
"Kita membutuhkan orang-orang dengan keterampilan memadai sebagai pengguna internet, selain konten yang harus tetap relevan," ujarnya.
Dalam konteks pendidikan, kualitas literasi digital guru dan siswa menjadi pekerjaan rumah lain yang tidak boleh dilupakan.
*Photo by Katerina Holmes | Catatan pemutakhiran: Jumlah total SD dalam data telah dikoreksi, sehingga turut mengoreksi persentase SD nir-internet secara keseluruhan (7 Juni 2022).