
Filsuf politik Hannah Arendt pernah menyatakan tujuan dari erosi kebenaran adalah untuk mengendalikan dan memanipulasi massa; ketika tak seorangpun percaya pada apapun, orang-orang mudah dimanipulasi. Inilah yang kita lihat hari-hari belakangan ini. Disinformasi dan misinformasi semakin merajalela atas nama stabilitas.
Tulisan ini berupaya menjelaskan fenomena tersebut, sekaligus menjajaki potensi jalan keluarnya. Pembahasan disarikan dari video presentasi Dr. Joe Pierre, seorang psikiater dan pakar delusi serta keyakinan palsu, yang berbicara di forum Commonwealth Club World Affairs. Ia juga penulis buku “False: How Mistrust, Disinformation, and Motivated Reasoning Make Us Believe Things That Aren’t True”.
Materi presentasinya sebagian besar bersumber dari isi buku tersebut. Dr. Pierre, yang mendalami sifat psikologis keyakinan palsu serta dampaknya pada individu dan masyarakat, menekankan bahwa fenomena ini bukanlah hal baru. Namun, kini kita tengah menghadapi keyakinan palsu dan teori konspirasi yang kian merusak dasar-dasar kehidupan berdemokrasi.
Akibatnya, sejumlah konsekuensi pun menanti. Salah satunya adalah hilangnya kepercayaan pada institusi. Ketika kebohongan dan disinformasi terus-menerus disebarkan, keyakinan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penting, seperti pemerintah, media, dan sains, terkikis. Erosi kepercayaan ini mempersulit institusi tersebut untuk berfungsi efektif dan berkomunikasi jujur dengan publik.
Dampak berikutnya adalah menguatnya tren tribalisme. Masyarakat cenderung mengelompokkan diri berdasarkan kesamaan keyakinan, yang kemudian memperkuat perpecahan sosial. Di tengah kebingungan dan polarisasi ini, muncul kecenderungan untuk mencari figur pemimpin yang kuat dan otoriter, yang kerap menawarkan janji-janji sederhana di hadapan kompleksitas masalah.
Paparan terus-menerus terhadap informasi yang salah dan konflik berbasis keyakinan juga membebani psikologis individu, menyebabkan peningkatan stres dan kemarahan. Lingkungan yang dipenuhi kebohongan dan ketidakpercayaan menciptakan ketegangan emosional. Dalam kasus ekstrem, keyakinan palsu bahkan dapat melegitimasi kekerasan—narasi yang menyesatkan digunakan untuk membenarkan tindakan merugikan terhadap kelompok atau individu lain.
Selain itu, konsekuensi negatif merambah ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari kesehatan masyarakat (misalnya, penolakan vaksin) hingga stabilitas politik dan ekonomi. Secara umum, penyebaran keyakinan palsu telah menciptakan lingkungan yang rapuh dan berbahaya, secara fundamental mengancam kohesi sosial dan kemajuan peradaban.
Dr. Pierre menggarisbawahi bahwa fenomena ini berbeda dari sekadar kesalahpahaman biasa, memori palsu, atau bahkan ide-ide agama yang saling bertentangan. Ia secara spesifik merujuk pada apa yang disebut “fakta alternatif”—keyakinan keliru yang dipegang teguh meskipun kebenaran hakiki telah diketahui dengan pasti. “Dogma pribadi” sebagai keyakinan palsu dipegang teguh, bahkan di hadapan bukti yang jelas bertentangan.
Ia berpendapat bahwa politisasi keyakinan palsu terkait isu-isu eksistensial, seperti perawatan kesehatan dan perubahan iklim, telah menghadapkan kita pada risiko “bunuh diri karena keyakinan palsu”. Dr. Pierre mengemukakan beberapa contoh, misalnya terkait keraguan terhadap vaksin, di Amerika Serikat.
Mayoritas orang dewasa di AS dilaporkan masih meragukan atau tidak yakin bahwa vaksin tidak menyebabkan autisme. Sebagian besar bahkan percaya pada teori konspirasi yang menyebut pemerintah dan ilmuwan mengetahui vaksin menyebabkan autisme namun tetap mewajibkannya.
Parahnya, tingkat kepercayaan bahwa vaksin lebih berbahaya daripada penyakit yang dicegahnya telah meningkat secara signifikan. Konsekuensinya nyata, di antaranya tingkat vaksinasi flu terendah dan wabah flu terburuk dalam 15 tahun, serta kembalinya penyakit seperti campak.
Dalam isu perubahan iklim, sebagian pihak tidak percaya bahwa pemanasan global disebabkan aktivitas manusia, atau bahkan meyakini perubahan iklim hanyalah hoaks. Keyakinan ini bertahan meskipun beberapa tahun terakhir tercatat sebagai masa terpanas. Konsekuensinya fatal, seperti terlihat pada kebakaran hutan baru-baru ini di Los Angeles. Tragisnya, masih banyak orang yang tidak percaya kebakaran ini terkait dengan perubahan iklim.
Contoh lain yang terlihat di berbagai belahan dunia terkait keyakinan palsu dalam isu politik. Dr. Pierre menyebutkan, keyakinan palsu mengenai tingkat kejahatan, imigrasi, inflasi, dan keadaan ekonomi telah memengaruhi hasil pemilihan presiden di AS pada 2024. Fenomena ini berpotensi mengarah pada era otoritarianisme baru, munculnya pemimpin yang secara terbuka menolak konsensus ilmiah.
Dr. Pierre menjelaskan, “Keyakinan palsu ini tidak berarti orang-orang mengalami delusi, sakit jiwa, dicuci otak, atau bodoh. Sebaliknya, kerentanan kita terhadap keyakinan palsu dijelaskan oleh berbagai proses kognitif normal yang kita miliki atau gunakan.” Sayangnya, secara historis, bidang psikologi dan psikiatri kurang memberi perhatian memadai mengenai sebab orang “normal” bisa berpegang teguh pada keyakinan palsu tersebut.
Memahami akar psikologis dari keyakinan palsu pada individu “normal” ini menjadi kunci penting untuk menemukan cara efektif dalam melawan gelombang disinformasi dan misinformasi yang kian mengancam.
Memahami keyakinan palsu
Dr. Pierre pun menawarkan kerangka berpikir yang lebih sederhana dan universal untuk memahami keyakinan palsu, yang disebutnya sebagai model Tiga M: (1) Mistrust atau ketidakpercayaan; (2) Misinformation atau Misinformasi; dan (3) Motivated Reasoning atau Penalaran Bermotivasi.
Mistrust atau ketidakpercayaan
Ini mengacu pada ketidakpercayaan epistemik, yaitu ketidakpercayaan terhadap informasi dan sumber-sumber arus utama (mainstream), termasuk institusi otoritas dan keahlian ilmiah. Orang cenderung tidak mempercayai ilmuwan daripada sains itu sendiri. Kepercayaan publik terhadap ilmuwan telah menurun, terutama sejak pandemi. Banyak yang percaya ilmuwan bias atau metode ilmiah dapat dimanipulasi.
Alasan ketidakpercayaan ini sebagian besar disebabkan oleh era internet, saat setiap orang memiliki akses informasi tanpa preseden. Pendapat orang biasa/awam dapat muncul sejajar dengan narasumber kredibel. Ini memberi kesan berlebihan tentang apa yang kita tahu, atau apa yang orang lain (yang kita percaya) tahu. Influencer menggantikan ahli, dan menolak keahlian secara membabi buta, alih-alih skeptisisme berbasis bukti.
Misinformation atau Misinformasi
Meskipun sudah ada sejak lama, misinformasi diperkuat oleh bentuk media baru seperti TV kabel dan internet, membuat publik sulit membedakan sumber yang andal dari yang tidak. Ada banyak sumber yang menyajikan misinformasi sebagai fakta, misalnya, klaim vaksin berbahaya, perubahan iklim hoaks, bumi datar, dll.
Di era internet berbasis klik, misinformasi bergerak lebih jauh dan lebih cepat daripada berita yang dapat dipercaya. Informasi palsu lebih baik dalam menarik perhatian, seringkali karena sensasional atau mengundang emosi. Efek ilusi kebenaran (illusory truth effect) merebak, semakin sering kita terpapar misinformasi, semakin mudah kita mempercayainya.
Dr. Pierre menggambarkan ini sebagai rantai makanan disinformasi, di mana “predator puncak” membuat disinformasi (kebohongan, propaganda), yang disebarkan oleh orang lain, dan dikonsumsi secara pasif oleh sebagian besar orang. Motivasi keuntungan mendorong konten viral daripada pemeriksaan fakta. Hasilnya adalah dunia “pasca-kebenaran” lantaran fakta digantikan oleh realitas alternatif.
Motivated Reasoning atau penalaran bermotivasi
Ini menjelaskan mengapa kita berpegang teguh pada keyakinan palsu. Ini seiring dengan bias konfirmasi (confirmation bias), yaitu kecenderungan untuk mencari dan menerima informasi yang mendukung apa yang sudah kita yakini atau inginkan (sebelumnya), sambil mengabaikan informasi yang bertentangan. Penalaran bermotivasi lebih mendalam; ini tentang bagaimana kita menilai informasi.
Kita cenderung menilai informasi berkualitas tinggi jika mendukung afiliasi ideologis kita, dan menolaknya sebagai “sampah berkualitas rendah” jika berlawanan dengan keyakinan kita. Ini menjelaskan mengapa orang dengan afiliasi politik berbeda memiliki pandangan berlawanan tentang sumber berita. Dulu saat pilpres di Indonesia, ada sekelompok orang yang lebih percaya pada media tertentu, dan menolak semua informasi dari media (tertentu) yang lain.
Ini juga menjelaskan mengapa orang bisa memegang keyakinan kuat berdasarkan bukti yang sangat lemah. Orang-orang menipu diri sendiri untuk menghindari pengakuan kesalahan dan rasionalisasi untuk mengurangi disonansi kognitif (ketegangan psikologis saat keyakinan berhadapan dengan kenyataan). Secara naluriah orang ingin melestarikan identitas ideologisnya, dan merasa kebal terhadap kritik dan tantangan pada pandangannya.
Semua orang terlibat dalam penalaran bermotivasi sampai batas tertentu. Ini menyebabkan pemikiran kelompok ideologis (ideological groupthink) dan pengelompokan partisan yang kuat pada isu-isu seperti vaksin dan perubahan iklim. Menjelaskan kemunafikan politik berbasis kenyamanan yang ditawarkan partai politik.
Pembagian ini tidak semata-mata tentang kecerdasan atau pendidikan, melainkan tentang tingkat kepercayaan yang berbeda pada sains dan ilmuwan. Dr. Pierre berpendapat bahwa para pemimpin politik konservatif secara khusus telah mengadopsi misinformasi dan disinformasi sebagai strategi politik untuk kepentingan pribadi (kekuasaan, keuntungan finansial).
Resep untuk dunia pasca-kebenaran
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Dr. Pierre mengajukan resep untuk dunia pasca-kebenaran di tingkat individu dan masyarakat. Di tingkat individu, kita harus berusaha memegang keyakinan dengan cara yang sehat secara mental, menggunakan apa yang disebutnya sebagai “Trinitas suci deteksi kebenaran”.
Ketiga “elemen suci” itu adalah (1) Kerendahan hati intelektual (Intellectual humility): Menerima bahwa kita bisa salah; (2) Fleksibilitas kognitif (Cognitive flexibility): Mendengarkan dan memahami perspektif lain, dan bersedia mengubah pikiran jika bukti mendukungnya; dan (3) Pemikiran analitis (Analytical thinking): Melambat, mempertanyakan informasi (terutama ketika kita ingin meyakini bahwa itu benar).
Kerendahan hati intelektual merupakan landasan utama dalam melawan keyakinan palsu. Ini berarti kesediaan untuk mengakui bahwa pengetahuan dan keyakinan kita tidaklah sempurna, dan kita mungkin saja salah. Di tengah banjir informasi yang sering kali bias atau menyesatkan, kemampuan untuk mengakui keterbatasan diri sangatlah krusial.
Seseorang dengan kerendahan hati intelektual tidak akan serta-merta menganggap keyakinannya sebagai kebenaran mutlak, melainkan terbuka terhadap kemungkinan bahwa ada informasi baru atau perspektif yang berbeda yang dapat mengubah pemahamannya.
Sikap ini mendorong individu untuk terus belajar dan mengevaluasi kembali apa yang mereka yakini, menjadikannya kurang rentan terhadap penerimaan informasi yang tidak terverifikasi hanya karena sesuai dengan pandangan awal mereka. Dengan mengakui potensi kesalahan, kita menjadi lebih hati-hati dalam menyerap dan menyebarkan informasi, serta lebih terbuka untuk menerima koreksi berbasis bukti.
Selanjutnya, fleksibilitas kognitif adalah kemampuan untuk bersedia mendengarkan dan sungguh-sungguh berusaha memahami perspektif atau sudut pandang lain, bahkan jika itu berbeda atau bertentangan dengan keyakinan kita sendiri. Ini memainkan peran penting dalam menavigasi lanskap informasi yang kompleks.
Fleksibilitas ini juga mencakup kesediaan untuk mengubah pikiran atau keyakinan jika bukti yang meyakinkan mendukung pandangan yang berbeda. Di dunia yang semakin terpolarisasi, fleksibilitas kognitif memungkinkan dialog dan pemahaman lintas perbedaan. Tanpa fleksibilitas ini, individu cenderung terjebak dalam “gelembung filter” mereka sendiri, hanya terpapar pada informasi yang memperkuat keyakinan yang sudah ada, dan menjadi kaku dalam pandangan mereka.
Kemampuan untuk beradaptasi dan mengintegrasikan informasi baru, meskipun menantang, adalah kunci untuk membentuk pemahaman yang lebih akurat tentang dunia.
Terakhir, pemikiran analitis, keterampilan praktis yang berfungsi sebagai penangkal langsung terhadap kepercayaan pada berita palsu. Ini melibatkan pendekatan yang hati-hati dan metodis dalam mengevaluasi informasi. Daripada langsung menerima suatu klaim, pemikir analitis akan melambat, mempertanyakan sumber informasi, mencari bukti yang mendukung atau membantah klaim tersebut, dan mempertimbangkan kemungkinan bias atau motif di baliknya.
Sikap kritis ini sangat penting terutama ketika kita dihadapkan pada informasi yang “terlalu bagus untuk menjadi kenyataan” atau yang secara kuat mengkonfirmasi apa yang ingin kita percaya. Dengan menerapkan pemikiran analitis, kita tidak hanya menjadi konsumen informasi yang lebih cerdas, tetapi juga lebih lihai mengidentifikasi dan menolak disinformasi untuk memanipulasi atau menyesatkan.
Ini adalah proses aktif memeriksa fakta, mengevaluasi argumen, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti yang solid, bukan sekadar perasaan atau keinginan. Inilah kemampuan yang ditawarkan dalam melek media, atau media literacy.
Adapun di tingkat masyarakat, Dr. Pierre juga menawarkan beberapa solusi. Upaya untuk melawan keyakinan palsu harus dimulai dengan pemulihan dan penguatan kepercayaan pada institusi otoritas. Pemerintah, lembaga ilmiah, media berita yang kredibel, dan institusi pendidikan memegang peran krusial dalam menyediakan informasi yang akurat dan dapat dipercaya.
Namun, kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga ini telanjur terkikis signifikan, sebagian karena disinformasi yang disebarkan untuk merusak reputasi mereka, dan sebagian lagi mungkin karena kesalahan atau kurangnya transparansi dari pihak institusi itu sendiri. Untuk memperoleh kembali kepercayaan ini, institusi harus berkomitmen pada transparansi yang lebih besar dalam operasi dan pengambilan keputusan mereka.
Mereka perlu menjelaskan seperti apa proses pengambilan keputusannya, mengakui kesalahan jika terjadi, dan membuat data serta sumber informasi lebih mudah diakses publik. Selain itu, keterlibatan publik yang aktif, seperti forum terbuka, dialog komunitas, dan mekanisme akuntabilitas yang jelas, membantu membangun kembali jembatan kepercayaan antara institusi dan masyarakat.
Ketika masyarakat merasa didengar dan percaya bahwa institusi bertindak demi kepentingan terbaik mereka berdasarkan bukti, mereka akan lebih cenderung mempercayai informasi yang disampaikan oleh sumber-sumber ini, sehingga mengurangi kerentanan terhadap narasi palsu.
Solusi jangka panjang yang tak kalah penting adalah mereformasi sistem pendidikan di seluruh jenjang usia. Pendidikan memiliki kekuatan untuk membekali individu dengan keterampilan kognitif yang diperlukan untuk memilah informasi secara kritis.
Kurikulum harus mencakup pengajaran mengenai filosofi sains, membantu siswa memahami bagaimana pengetahuan ilmiah dihasilkan melalui observasi, eksperimen, dan tinjauan sejawat, serta mengapa metode ini adalah pendekatan yang paling dapat diandalkan untuk memahami dunia fisik.
Lebih lanjut, pengajaran pemikiran analitis harus ditekankan, melatih siswa untuk mengevaluasi argumen, mengidentifikasi bias, dan membedakan antara klaim yang didukung bukti dan klaim yang tidak berdasar.
Ini akan merambah literasi media atau melek media. Siswa perlu diajari cara mengenali sumber berita yang kredibel, memahami model bisnis media (termasuk bagaimana klik dan keterlibatan mendorong konten), dan mengenali taktik umum yang digunakan dalam disinformasi, seperti judul yang menyesatkan atau manipulasi gambar.
Selain upaya pendidikan dan penguatan institusi, diperlukan juga tindakan yang lebih konkret untuk mengurangi penyebaran misinformasi itu sendiri. Salah satu teknik yang menjanjikan adalah teknik inokulasi, yang analog dengan vaksinasi dalam kedokteran.
Pendekatan seperti pre-bunking melibatkan pemaparan individu terhadap versi misinformasi yang dilemahkan atau penjelasan tentang taktik disinformasi sebelum mereka terpapar pada disinformasi yang sebenarnya. Ini seperti memberikan “vaksin” kognitif yang membantu orang mengenali dan menolak misinformasi di kemudian hari.
Di sisi lain, perlu juga upaya mengurangi misinformasi yang sudah beredar. Ini dapat dilakukan melalui moderasi konten yang lebih efektif oleh platform daring (meskipun ini sering menjadi isu yang kompleks dan kontroversial), pemasaran kebenaran yang lebih baik oleh pihak-pihak otoritatif (misalnya, kampanye kesehatan masyarakat yang jelas dan menarik), dan meminta pertanggungjawaban penyebar disinformasi ketika kebohongan mereka menyebabkan kerugian.
Hal tersebut bisa ditempuh melalui langkah hukum, sanksi sosial, atau bentuk akuntabilitas lainnya, untuk menciptakan disinsentif bagi penyebaran kebohongan yang berbahaya dan melindungi ruang informasi publik dari pencemaran sistematis.
Dr. Pierre menyimpulkan—terutama setelah perubahan politik baru-baru ini—aktivisme diperlukan untuk menjaga kewarasan dan melawan keyakinan palsu yang berbahaya. Ini berarti membela sains, kebenaran, perawatan medis berbasis bukti, kebijakan iklim yang sehat, dan hak-hak sipil.
Penting untuk membangun koalisi, berinteraksi dengan lawan ideologis, dan fokus pada sumber disinformasi (predator puncak). Alternatif aksinya dapat berupa menghubungi pemimpin politik, berdemonstrasi, memboikot, menghapus media sosial, dan mencalonkan diri untuk jabatan publik.
“Belajar dari negara demokrasi lain yang beralih ke otokrasi, kita harus aktif sekarang sebelum terlambat, karena ketidakaktifan akan menjamin akhir demokrasi,” tutupnya.
Tonton video selengkapnya di sini:
Photo by Andryck Lopez on Unsplash
Komentar Anda?