Antusias pengguna terhadap metaverse terasa masih sangat rendah. Ia mungkin akan berkembang pada masa depan, saat ini metaverse atau semesta meta belum jadi keniscayaan—masih jauh panggang dari api.
Bayangkan saja, Decentraland dengan valuasi Rp18 triliun dilaporkan baru dihuni 38 pengguna aktif. Sandbox masih mending, ada 522 pengguna aktif dalam periode 24 jam. Laporan dirilis DappRadar via CoinDesk awal Oktober silam meski dibantah oleh pihak Decentraland.
Sam Ewen, kepala CoinDesk Studios, baru-baru ini mendeskripsikan metaverse sebagai “sesuatu yang tak nyata”. Secara harfiah metaverse memang “hidup” di dunia maya, pun eksistensinya masih meragukan.
Hype seputar metaverse bertaruh pada infrastruktur dunia maya yang imersif dan kaya pengalaman, yang saat ini belum benar-benar ada.
“[…] metaverse saat ini belum berguna untuk miliaran pengguna yang diklaim akan bergabung. Masih terlalu dini untuk mengatakan bagaimana itu benar-benar akan diluncurkan,” tulis Sam 1 November lalu.
Sam mengecualikan Roblox, Fortnite, dan sistem gim lainnya, karena sebagian besar panggung tersebut dimiliki secara terpusat dan tak begitu cocok dengan paradigma Web3. Mereka dinilai lebih kuat dan berpenghuni lebih banyak daripada kebanyakan platform metaverse karena alasan lain.
Sam yakin semesta meta saat ini hanyalah video game tingkat lanjut, tetapi bertentangan dengan sistem terbuka yang terdesentralisasi sebagai prinsip metaverse. Ia fokus pada pengalaman realitas alternatif yang imersif atau tertambah, khususnya yang dibangun di atas teknologi blockchain.
Meta masih ngotot dengan metaverse
Di sisi lain, pendiri Meta, Mark Zuckerberg, tak mau ambil pusing dengan cibiran orang soal semesta meta. Meski proyek andalannya pun masih sepi peminat, Zuck tetap jor-joran mengembangkan metaverse.
Mark kabarnya sudah menghabiskan Rp155 triliun untuk membangun metaverse. Tapi uang yang dikeluarkan tak sebanding dengan jumlah pengguna yang datang.
Induk usaha Facebook itu tetap teguh mengembangkan metaverse meski kinerja Q3 2022 menunjukkan kerugian besar yang diderita perusahaan. Saham Meta ambruk 19 persen setelah Meta merilis laporan dan proyeksi finansial yang suram.
Pendapatan Meta merosot 4 persen pada Q3 2022 sebagai imbas dari penurunan pendapatan dari iklan online akibat kebijakan privasi Apple dan tekanan pesaing utama mereka, TikTok. Di sisi lain, pengeluaran Meta justru melonjak 19 persen sehingga laba operasi perusahaan merosot 46 persen.
Sebagian besar pengeluaran datang dari upaya membangun ekosistem metaverse seperti perangkat produk Augmented Reality (AR) dan Virtal Reality (VR) lewat Meta Reality Labs. Mereka tetap percaya, butuh sekitar 1 dekade untuk benar-benar mewujudkan metaverse.
Oleh Phil Spencer, CEO Microsoft Gaming dan Kepala Xbox, metaverse ala Zuck saat ini diledek sebagai sebuah video game yang jelek.
Menurut Phil video game telah menyatukan orang-orang dalam ruang 3D untuk berpetualang dan menyelamatkan dunia dari invasi alien, atau menaklukkan kastil. Konsep metaverse [oleh Meta] lebih terlihat seperti “ruang tamu” daripada dunia virtual.
Dia bilang, “itu bukan tempat untuk menghabiskan sebagian besar waktu saya”. Meski begitu, Phil tak memungkiri bahwa semesta meta saat ini masih dalam tahap awal pengembangan. Ia meyakini metaverse bakal berevolusi seiring berjalannya waktu.
Metaverse mungkin nanti, tapi bukan saat ini
Saat ini banyak sekali eksperimen di ruang metaverse, dengan berbagai macam pendekatan. Sam Ewen mengingatkan untuk menolak hype dari para pendiri, pemodal ventura, jenama, dan pihak lainnya.
Ia mengimbau publik bersikap realistis tentang keadaan yang sebenarnya terjadi hari ini, sambil mengawasi apa yang akan terjadi besok. Siapa pun yang menghabiskan banyak waktu di CyberTown atau SecondLife tahu bagaimana cita-cita dunia maya tidak selalu sesuai dengan kenyataan.
Namun, jika percaya statistik (beberapa memprediksi kapitalisasi pasar metaverse bakal mencapai $1 triliun pada 2030) dan premis bahwa metaverse adalah gelombang inovasi teknologi berikutnya, jenama pengembang Web2 dan Web3 harus siap terjun dan mulai menyusun strategi.
Awal tahun ini Accenture menerbitkan riset bertajuk “Accenture Technology Vision 2022“, yang menggambarkan tren semesta meta, termasuk di Indonesia. Dalam riset tersebut Accenture melakukan survei terhadap 24.000 responden di seluruh dunia, sejak Desember 2021 sampai Januari 2022.
Menurut riset tersebut, mayoritas perusahaan di Indonesia menganggap metaverse akan memberikan dampak positif bagi dunia usaha, dengan empat tren yang berpotensi terjadi dalam pengembangan semesta meta di Indonesia.
Tetapi untuk benar-benar memulai tren baru ini, dunia bisnis harus membangun fondasi digital. Saatnya memilih mitra untuk membangun mitra digital, melampaui data dan analitik untuk menggunakan AI secara kolaboratif.
Hanya dengan mesin digital yang matang dan diminyaki dengan baik, perusahaan akan siap berpartisipasi dalam (atau ikut membangun) lingkungan dan dunia baru bernama metaverse.
*Photo by SHVETS production via Pexels