Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   OECD: Mau Ngajarin Apa Soal AI di Sekolah?

OECD: Mau Ngajarin Apa Soal AI di Sekolah?

Oleh: Melekmedia -- 22 Oktober, 2025 
Tentang:  –  Komentar Anda?

a couple of people working on computers

Ketika kecerdasan buatan (AI) berkembang pesat dan berpotensi melampaui kemampuan penalaran manusia, sistem pendidikan global menghadapi pertanyaan fundamental: Apakah yang kita ajarkan di sekolah hari ini masih akan relevan di masa depan?

OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) mengajak para pembuat kebijakan untuk tidak hanya memikirkan penggunaan AI sebagai alat bantu mengajar, tetapi mempertanyakan ulang seluruh tujuan dan kurikulum menghadapi transformasi yang dibawa AI.

Saat ini, diskusi tentang AI dan pendidikan umumnya berkisar pada tiga hal: Bagaimana menggunakan AI untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran; Bagaimana mencegah risiko AI seperti bias algoritma dan siswa menyontek, serta; Bagaimana mengajarkan literasi AI kepada siswa.

Namun laporan OECD bertajuk “What Should Teachers Teach and Students Learn in a Future of Powerful AI?” yang dirilis Mei 2025 ini, menyatakan bahwa ketiga fokus tersebut—meski penting—mengabaikan implikasi sosial yang lebih besar.

Apa itu? Laporan itu mempertanyakan kembali, jika AI dan robot secara signifikan mengubah cara manusia bekerja dan menjalani kehidupan, maka pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dipromosikan melalui pendidikan mungkin perlu berubah total.

Perubahan teknologi memang bukan hal baru dalam sejarah pendidikan. Kalkulator pernah memicu perdebatan sengit tentang perlunya latihan aritmetika intensif. Mesin pencari dan ensiklopedia online mempertanyakan nilai transmisi informasi faktual.

Namun kemajuan AI—terutama dalam pemrosesan dan generasi bahasa—berpotensi menciptakan dampak yang jauh lebih besar, beberapa tingkat di atas contoh-contoh dari generasi sebelumnya.

Pertanyaan Kurikulum yang Harus Diajukan Ulang

Laporan ini merangkum hasil lokakarya OECD dengan National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (NASEM) Amerika Serikat pada September 2024. Workshop selama 1,5 hari tersebut melibatkan tujuh pakar pendidikan sains terkemuka—termasuk mereka yang mengembangkan kerangka pendidikan sains NASEM 2012—untuk melakukan eksperimen pemikiran.

Mereka diminta membayangkan masa depan jangka pendek hingga menengah ketika AI mampu melakukan semua penalaran dan pemecahan masalah ilmiah pada tingkat yang melampaui kinerja manusia rata-rata maupun ahli.

Skenario ini cukup realistis untuk memengaruhi prospek pekerjaan sebagian besar siswa yang saat ini masih bersekolah.Dari sini, pertanyaan-pertanyaan mendasar muncul:

  • Haruskah penekanan pada kompetensi tertentu dalam kurikulum saat ini bergeser karena kehadiran AI?
  • Apakah ada kompetensi yang menjadi usang? Haruskah kompetensi baru dipertimbangkan?
  • Bagaimana aspek kurikuler lain—seperti urutan konten dan pengalaman belajar—akan berubah?
  • Bahkan lebih mendasar lagi: apa sebenarnya tujuan sekolah di era AI?

Bukan Tujuan Baru, Tapi Pergeseran Prioritas

Menariknya, para ahli dalam workshop tidak merumuskan tujuan pendidikan yang sama sekali baru. Mereka justru melihat AI sebagai katalis untuk menggeser prioritas yang sudah ada.

Selama ini, pendidikan sains—dan STEM (sains, teknologi, teknik, matematika) secara umum—cenderung berfokus pada mempersiapkan siswa untuk karier di bidang tersebut. Orientasi pasar kerja ini sering menghasilkan praktik seperti pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan, pembelajaran hafalan, dan memprioritaskan cakupan luas daripada kedalaman pemahaman.

Para ahli berpendapat bahwa jika AI mengambil alih banyak tugas penalaran ilmiah, ini justru menjadi kesempatan untuk mengalihkan fokus dari kebutuhan pasar kerja yang sempit ke tujuan yang lebih luas:

Empat Tujuan Pendidikan Sains di Era AI:

  1. Epistemologi praktis dan kepercayaan pada sains – Mengajarkan bagaimana sains bekerja, dari mana pengetahuan sains berasal, dan bagaimana mengevaluasinya. Membantu siswa membedakan pertanyaan ilmiah dari pertanyaan sosial, ekonomi, atau teologis.
  2. Keterlibatan sipil demokratis – Membantu siswa bergulat dengan pertanyaan tentang jenis pengetahuan apa yang menginformasikan keputusan publik, bagaimana caranya, dan mengapa. Membuat relevansi sosial pengetahuan ilmiah terlihat, sekaligus batasannya dalam menangani isu berbasis nilai.
  3. Pemenuhan intelektual dan estetis – Memberikan kesempatan untuk menemukan makna dan kegembiraan dalam hidup melalui sains. Menumbuhkan rasa ingin tahu dan identitas kuat sebagai pembelajar.
  4. Pemahaman kritis terhadap AI dan teknologi – Mengajarkan siswa memahami AI sebagai seperangkat alat dengan kemampuan dan keterbatasan spesifik, kapan dan sejauh mana harus dipercaya, serta bagaimana menggunakannya secara aman dan etis.

Apa yang Seharusnya Dipelajari Siswa?

Setelah mengidentifikasi tujuan, diskusi beralih ke konten dan pengalaman belajar yang seharusnya ada dalam kurikulum formal. Beberapa rekomendasi kunci yang muncul:

1. Pembelajaran Berbasis Pertanyaan yang Relevan

Para ahli menekankan pentingnya membangun pembelajaran sains pada pertanyaan sederhana tapi menantang: “Bagaimana ini bekerja?” dan “Bagaimana kamu tahu?”

Alih-alih melakukan praktik sains yang terasa seperti tugas rutin tanpa makna, siswa perlu terlibat dalam penyelidikan yang bermakna bagi mereka dan komunitas mereka.

Misalnya, daripada hanya mempelajari konsep gelombang suara melalui eksperimen abstrak, siswa bisa mulai dengan masalah nyata seperti polusi suara di lingkungan mereka, lalu mengembangkan pertanyaan sendiri tentang bagaimana suara merambat dan material apa yang bisa mengurangi kebisingan.

2. Tidak Semua Siswa Perlu Belajar Segalanya

Salah satu kesimpulan penting: Siswa tidak perlu menguasai setiap disiplin sains secara detail. Seperti yang dikatakan salah satu peserta, “Sains mana yang dipelajari siswa mungkin kurang penting daripada bagaimana mereka mempelajarinya.”

Fokusnya harus pada pemahaman konsep lintas sektoral yang memberikan fondasi kuat untuk memproses informasi ilmiah dan terus belajar sepanjang hidup.

Para ahli menyarankan untuk “berpikir dalam sistem, bukan disiplin ilmu”—fokus pada berbagai sistem seperti sistem buatan manusia, sistem ekologi dan biologi, serta sistem bumi dan luar angkasa beserta interkoneksinya.

3. Penalaran Probabilistik dan Pemahaman Sistem Kompleks

Untuk memahami perilaku kompleks sistem, siswa perlu memperkuat kemampuan penalaran probabilistik (menganalisis kemungkinan berbagai hasil) dan penalaran kovariasional (mengenali bagaimana perubahan satu variabel memengaruhi variabel lain).

Penting juga bagi siswa untuk memahami bahwa sains dan teknik mendekati realitas melalui model yang dapat salah tetapi dapat diperbaiki—pelajaran epistemik dasar yang harus dipelajari semua siswa.

4. Integrasi Ilmu Sosial dan Perilaku

Pemahaman terhadap sistem kompleks tidak lengkap tanpa mempertimbangkan pengaruh manusia, termasuk perilaku individu dan struktur sosial.

Para ahli mengakui perlunya mengintegrasikan konsep dan metode dari ilmu perilaku dan sosial, termasuk studi tentang struktur kekuasaan sosial serta bias dalam cara manusia memproses informasi dan membuat keputusan.

Tantangan: Keseimbangan antara Solusi Jangka Pendek dan Perencanaan Jangka Panjang

Salah satu isu yang muncul dalam workshop adalah kebutuhan untuk menyeimbangkan respons pendidikan yang mendesak terkait AI dengan diskusi strategis mendalam tentang implikasi AI yang lebih luas.

Perencanaan jangka panjang tidak boleh hanya berfokus pada integrasi teknologi saat ini dalam pengajaran dan penilaian, tetapi harus mempertimbangkan transformasi sistemik yang mungkin diperlukan.

Langkah Berikutnya: Memperluas Dialog

Workshop ini dirancang sebagai upaya percontohan untuk memperluas diskusi serupa ke disiplin ilmu lain dan konteks nasional yang berbeda. Para peserta menyoroti bahwa percakapan serupa akan sangat bermanfaat di negara-negara dan mata pelajaran lain.

Mengadakan workshop di berbagai konteks akan membantu mengidentifikasi apakah ada peluang dan tantangan umum yang dihadapi secara global. OECD juga berencana untuk menggunakan pembelajaran dari workshop ini dalam pengembangan metodologi proyek AI and Future of Skills (AIFS).

Metodologi ini bertujuan untuk mengembangkan cara berprinsip dalam menggunakan indikator kemampuan AI untuk membayangkan masa depan pendidikan yang masuk akal.

Meskipun workshop ini berfokus pada konteks Amerika Serikat dan pendidikan sains, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bersifat universal. Sistem pendidikan di Indonesia—seperti di negara-negara lain—perlu mulai mempertimbangkan:

Apakah yang kita ajarkan hari ini akan mempersiapkan siswa untuk dunia yang akan dikuasai AI? Apakah fokus pada hafalan dan ujian terstandar masih relevan ketika AI dapat melakukan tugas-tugas tersebut dengan lebih baik?

Kompetensi apa yang harus diprioritaskan—pemikiran kritis, kreativitas, empati, kolaborasi? Laporan OECD ini menjadi pengingat bahwa diskusi tentang AI dalam pendidikan tidak boleh terjebak pada debat tentang apakah siswa boleh menggunakan ChatGPT atau tidak.

Pertanyaannya jauh lebih fundamental: Dalam dunia di mana AI dapat melakukan banyak tugas kognitif yang selama ini menjadi tujuan pendidikan, apa yang seharusnya menjadi tujuan baru pendidikan kita? Sementara ini, kita masih terjebak dengan nomenklatur Koding dan KA.

Saat OECD bertanya “APA yang harus diajarkan?”—pertanyaan eksistensial—Kemendikdasmen menetapkan “BAGAIMANA mengajar koding/KA” yang bersifat respons teknis. Saat OECD menggeser prioritas dari pasar kerja, Kemendikdasmen maasih berkutat pada kebutuhan pasar kerja.

Saat OECD sudah bicara AI sebagai katalis untuk transformasi sistemik, pemrintah kita masih melihat AI sebagai mata pelajaran tambahan yang opsional. Apalagi saat OECD sudah bilang “Scientific literacy as fundamental right for ALL“, pemerintah baru “Implementasi bertahap dari sekolah yang siap”.

Selain itu, yang mengkhawatirkan adalah: Indonesia berisiko menambah beban kurikulum dengan Koding dan KA tanpa mempertanyakan relevansi yang sudah diajarkan. Ini bisa memperburuk isu yang sudah ada (kompetensi guru, kurikulum padat, fokus hafalan, kesenjangan akses).

*Photo by Royhan Firdaus via Unsplash

Artikel lain sekategori:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

```

Topik
Komentar
Materi Kursus