Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Implementasi Melek Media di Masyarakat

Implementasi Melek Media di Masyarakat

Oleh: Melekmedia -- 16 Agustus, 2025 
 –  Komentar Anda?

green tree on brown field during daytime
Ringkasan:
  • Pentingnya Melek Media: Perguruan tinggi harus berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat tentang melek media. Tujuannya adalah untuk melawan penyebaran disinformasi dan hoaks yang marak di era digital.
  • Strategi Tepat Guna: Implementasi melek media tidak hanya sebatas teori, tetapi bisa dilakukan melalui program praktis. Contohnya, mengadakan lokakarya untuk mengenali hoaks, memanfaatkan program KKN, atau berkolaborasi dengan pemerintah setempat.
  • Tujuan Akhir: Dengan menerapkan strategi ini, diharapkan masyarakat bisa lebih kritis dan cerdas dalam menyerap serta menyebarkan informasi di media digital.

Melek media, atau media literasi yang mencakup kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan konten media, adalah keahlian fundamental di era digital. Semakin sulit bertahan hidup di dunia digital ini tanpa melek media.

Di luar lingkungan akademis, tuntutan melek media di tengah masyarakat sangat mendesak untuk mengatasi penyebaran disinformasi, hoaks, dan misinformasi. Perguruan tinggi sebagai agen perubahan dan intelektual, dapat menyebarkan kesadaran dan keterampilan ini kepada masyarakat.

Perguruan tinggi adalah pusat inovasi dan pengetahuan. Mahasiswa dan dosen tidak hanya belajar dan mengajar, tetapi juga diharapkan dapat berkontribusi pada solusi masalah sosial. Melek media atau media literasi adalah salah satu area di mana kontribusi ini sangat berharga.

Mahasiswa memiliki energi, kreativitas, dan kedekatan dengan teknologi; dapat menjadi relawan, fasilitator, dan mentor dalam program-program melek media. Dosen dapat merancang kurikulum, memimpin penelitian, dan menjadi key opinion leader untuk advokasi melek media.

Setidaknya ada tiga teori yang bisa menjadi landasan untuk mengimplementasikan melek media yang efektif. Literatur ilmiah menawarkan beberapa kerangka kerja yang relevan:

Model Literasi Media Potter: Menurut W. James Potter (2001), literasi media adalah sebuah proses, bukan tujuan akhir. Ia melibatkan serangkaian keterampilan kognitif yang memungkinkan individu untuk secara sadar mengendalikan interaksinya dengan media. Kerangka ini menjadi dasar untuk mengembangkan kurikulum yang melatih keterampilan mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi.

Teori Uses and Gratifications: Teori ini berfokus pada peran khalayak yang aktif dalam memilih dan menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan tertentu (Blumler & Katz, 1974). Dengan memahami alasan mengapa masyarakat menggunakan media, program melek media dapat lebih efektif dalam membantu mereka membuat pilihan yang lebih bijak dan produktif.

Konsep Budaya Partisipatif Jenkins: Henry Jenkins (2009) menekankan di era digital, khalayak bukan lagi konsumen pasif, melainkan juga produsen konten. Melek media di era ini, oleh karena itu, harus mencakup kemampuan untuk berpartisipasi dalam budaya digital, memproduksi konten yang bertanggung jawab, dan berkolaborasi secara etis.

Melek media Semakin Dibutuhkan

Di sisi lain, ancaman sudah datang. Ada bot obrol yang kian menyaru jadi teman, memberi pertimbangan media dan psikologis yang seharusnya tidak dilakukannya. Pengguna chatbot yang delusi juga semakin banyak, mengirim sinyal bahaya. Belum lagi ancaman deepfake.

Ketergantungan berulang, atau sebut saja “kecanduan AI” melemahkan proses kognitif otak. Manusia yang terlalu sering “meminjam” otak AI untuk menuntaskan pekerjaan kognitif yang seharusnya ia lakukan. Keseringan minjam, akhirnya malah jadi kecanduan.

Dr. Julie Albright mengingatkan, media sosial pun pada dasarnya mengadopsi prinsip yang sama dengan penyebab kecanduan judi. Penyebabnya adala fenomena penguatan secara acak atau random reinforcement. Perhatian memendek, ingin bahagia, tak lagi tertarik membaca.

Sebuah laporan UNESCO bersama parapihak di Indonesia mengungkap gambaran kesiapan negara ini dalam menyambut perpaduan media sosial dan AI—lengkap dengan harapan besar, tantangan nyata, dan rekomendasi langkah ke depan. Intinya, kita belum siap.

Sementara gelombang Akal Imitasi (AI) semakin sulit ditahan, kita masih tertahan dengan literasi mendasar. Angka-angka menunjukkan, tingkat literasi digital atau melek digital kita belum optimal. Perlu ada langkah konkret untuk mengejar ketertinggalan.

Laporan World Economic Forum (WEF) bertajuk Rethinking Media Literacy: A New Ecosystem Model for Information Integrity (Juli 2025) sudah sampai pada kesimpulan bahwa misinformasi dan disinformasi adalah risiko global terbesar dalam dua tahun ke depan.

Pendekatan lama dalam melek media tidak cukup. Disinformasi bukan sekadar persoalan orang tidak tahu; ia adalah hasil dari insentif platform digital, algoritma yang mengedepankan keterlibatan emosional, dan lemahnya regulasi. Kita harus bergeser ke Melek Media dan Informasi.

Strategi Implementasi Melek Media

Berikut adalah beberapa cara praktis yang dapat dilakukan oleh mahasiswa dan dosen untuk mengimplementasikan melek media di masyarakat:

Lokakarya dan Pelatihan Komunitas

Mahasiswa dan dosen dapat berkolaborasi untuk mengadakan pelatihan singkat bagi kelompok masyarakat.

Contoh Kegiatan Nyata:

  • Untuk Ibu-ibu PKK: Mengadakan lokakarya “Mengenali Hoaks di Grup WhatsApp”. Sesi ini dapat mencakup langkah-langkah praktis seperti memverifikasi foto dengan Google Reverse Image Search, mengecek sumber berita, dan mengidentifikasi judul yang provokatif.
  • Untuk Siswa SMA: Mengadakan pelatihan “Etika Berkomentar dan Digital Footprint“. Mahasiswa dapat memberikan simulasi kasus, seperti bagaimana sebuah komentar di media sosial dapat memengaruhi masa depan karir, dan memberikan tips untuk membangun reputasi digital yang positif.
  • Untuk Pemuda Karang Taruna: Mengadakan pelatihan “Membuat Konten Lokal Berdampak”. Mahasiswa dari jurusan komunikasi atau desain dapat melatih pemuda untuk membuat video promosi produk desa atau podcast yang membahas isu lokal, menggunakan aplikasi yang mudah diakses di ponsel.

Program KKN (Kuliah Kerja Nyata) Tematik

Perguruan tinggi dapat mengalokasikan program KKN dengan tema spesifik literasi media.

Contoh Kegiatan Nyata:

  • Pendampingan Digitalisasi Usaha Mikro: Mahasiswa mendampingi pelaku usaha kecil di sebuah desa untuk membuat akun media sosial bisnis, memotret produk dengan teknik dasar yang menarik, dan menyusun narasi promosi yang efektif dan etis.
  • Proyek “Jurnalis Warga”: Mahasiswa melatih warga desa untuk mendokumentasikan kegiatan komunitas, seperti acara adat atau festival, menggunakan kamera ponsel. Hasil dokumentasi ini kemudian dapat dikelola menjadi media sosial atau buletin digital komunitas.

Kolaborasi dengan Pemerintah Daerah dan LSM

Dosen dapat menjadi penasihat atau peneliti, sementara mahasiswa dapat terlibat sebagai asisten pelaksana.

Contoh Kegiatan Nyata:

  • Penyusunan Modul Literasi Digital: Dosen bekerja sama dengan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) setempat untuk menyusun modul pelatihan literasi digital yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di daerah tersebut. Modul ini kemudian bisa digunakan oleh mahasiswa KKN atau relawan lainnya.
  • Kampanye “Saring Sebelum Sharing”: Mahasiswa, didampingi dosen, merancang dan menjalankan kampanye edukasi publik di media sosial, poster di tempat umum, atau radio komunitas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya penyebaran hoaks.

Mahasiswa dan dosen memiliki modal intelektual dan sosial untuk menjadi katalisator perubahan di era digital. Dengan mengimplementasikan melek media di tengah masyarakat, mereka tidak hanya menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, tetapi juga berkontribusi langsung pada pembangunan masyarakat yang lebih cerdas, kritis, dan berdaya dalam menghadapi tantangan era digital.

*Photo by Daniel Mirlea vis Unsplash

Artikel lain sekategori:

Komentar Anda?


Topik
Komentar
Materi Kursus