Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Quo Vadis Media Daring Indonesia

Quo Vadis Media Daring Indonesia

Oleh: rahadian p. paramita -- 5 November, 2016 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Quo Vadis Media Daring Indonesia

Media daring

Peranti dimaksud, telah memengaruhi bagaimana jurnalis dan organisasinya bekerja. Mulai dari pengumpulan data tentang suatu peristiwa, memindahkan informasi dari satu tempat ke tempat lain, menyusun alur cerita dalam artikel, hingga menyajikannya kepada pembaca, bahkan berinteraksi dengan mereka.

Meski begitu, Kawamoto tak menganggap definisinya sebagai yang terbaik. Ia justru menantang siapa saja untuk memperbaruinya sejalan dengan perkembangan teknologi digital yang sangat pesat.

Lalu bagaimana dengan istilah jurnalisme daring? Internet sebagai teknologi yang menghubungkan orang-orang ke dalam jaringan (online), menurut Kawamoto, hanya salah satu penerapan jurnalisme digital.

Cukup masuk akal, karena ia juga menyebut teknologi media digital lain yang tak harus daring.

Misalnya dokumen elektronik yang hanya sekali unduh, dan dapat dinikmati kapan saja tanpa harus tergantung pada koneksi internet. Atau, televisi digital yang sudah menggunakan teknologi suara dan gambar sesuai format digital yang digunakan kamera.

Majalah digital milik Detikcom, yang diberi nama Majalah Detik, adalah contoh bagaimana media digital dimanfaatkan untuk menerbitkan media. Namun,majalah yang bisa diunduh atau dibaca lewat aplikasi ini, tak harus diakses sembari daring.

Setelah terunduh, pembaca bisa menikmatinya kapan saja. Ini berbeda dengan mengakses situs Detikcom di alamat Detik.com.

Istilah jurnalisme daring, mungkin lebih pas didudukkan dalam konteks pembahasan media yang hanya bisa diakses saat daring. Namun, sah-sah saja mempertukarkan penggunaannya. Selama, prinsip jurnalisme diterapkan saat menyebarkan berita lewat panggung apapun.

Tradisi jurnalisme di internet

Seorang profesor yang mengajar etika jurnalisme di University of Oklahoma, Amerika Serikat, David A. Craig, pernah menulis buku berjudul Excellence in Online Journalism (2010). Ia menggarisbawahi pentingnya memahami elemen dasar dalam jurnalisme daring.

Menurut Craig, elemen itu adalah keluasan dan kelengkapan (komprehensif), kecepatan dan akurasi, selalu terbuka untuk pemutakhiran, dan interaksi dengan pembaca.

Patut dicatat, Craig tetap menempatkan kecepatan sebagai salah satu elemen, meski akurasi melekat di belakangnya. Ini sekaligus menjawab pertanyaan apakah prinsip umum jurnalisme dapat diterapkan di media daring.

Salah satu yang disarankan Craig –berdasarkan tulisan seorang ahli strategi komunikasi, Jeremy Porter– adalah mempraktikkan apa yang diistilahkan sebagai process journalism.

Para jurnalis tidak perlu ragu membagikan informasi yang terverifikasi lewat media atau jejaring sosial layaknya breaking news, sebelum beritanya resmi diterbitkan.

Meski ia mengakui cara ini sama dengan menyajikan berita “setengah matang”, namun inilah cara memenuhi tuntutan pembaca masa kini. Ia merujuk jejaring televisi berita CNN, yang mendayagunakan satu akun Twitter khusus untuk kepentingan tersebut, CNN Breaking News (@cnnbrk – kini berpengikut 29,3 juta akun).

Praktik menyajikan berita “setengah matang” ini sudah dipraktikkan sejak kelahiran Detikcom (1998), yang menganut breaking news ala CNN. Berita pertama tak perlu lengkap sesuai kaidah 5W1H, namun diikuti dengan pemutakhiran yang melengkapi berita sebelumnya.

Dengan cara yang disebut timeline news ini, Detikcom memenuhi janjinya sebagai media yang mampu menyajikan berita “detik demi detik”. Kecepatan memberitakan sebuah peristiwa terpenuhi, meski terpenggal-penggal secara kronologis.

Model ini berbeda bila merujuk kriteria Kevin Kawamoto tentang pemanfaatan teknologi digital dari hulu hingga hilir. Contoh yang relevan dan cukup ekstrem adalah saat LA Times mengabarkan gempa di California Selatan, Amerika Serikat, pada Senin (17/3/2014) pagi waktu setempat.

Gempa berkekuatan 4,7 skala Richter yang terekam lembaga geologi AS, U.S. Geological Survey (USGS), dilaporkan tiga menit kemudian oleh “robot” LA Times yang terhubung langsung ke pusat data USGS.

Proses produksi berita yang populer dengan istilah robot journalism ini, menunjukkan bagaimana teknologi digital dimanfaatkan secara optimal dalam jurnalisme. Adalah Ken Schwencke, jurnalis merangkap ahli pemrograman dari LA Times yang membuat algoritma “robot” penulis berita tersebut.

Pencapaian ini jadi berita hangat, mengingat saat itu banyak jurnalis di AS yang terpaksa dirumahkan lantaran lesunya bisnis media cetak. Muncul berbagai spekulasi betapa teknologi akan menggantikan kerja jurnalis.

Lanjut membaca: Halaman 1 » Halaman 2 » Halaman 3

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.